IMF: 2023 Akan Jadi Tahun yang Sulit Bagi Ekonomi Global

Jakarta, IDN Times - Direktur Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, mengatakan 2023 akan menjadi tahun yang sulit bagi ekonomi global. Hal itu karena mesin utama pertumbuhan global, yakni Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa (UE), mengalami perlambatan secara bersamaan.
“Tahun baru akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar, yakni AS, UE, dan China, semuanya melambat secara bersamaan," katanya, pada Minggu (1/1/2023), dilansir Channel News Asia.
1. Ekonomi China masih lesuh

Georgieva menuturkan, untuk pertama kalinya dalam 40 tahun terakhir, pertumbuhan China pada 2023 kemungkinan berada di bawah pertumbuhan ekonomi global.
Terlebih dengan adanya lonjakan baru penyebaran COVID-19 akan memukul ekonomi negeri Tirai Bambu itu. Kondisi ekonomi negeri itu akan berdampak pada kawasan regional dan global.
"Saya berada di China minggu lalu, dalam gelembung di kota di mana tidak ada COVID. Tapi itu tidak akan bertahan begitu orang mulai bepergian," ungkap Georgieva.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," tambahnya.
2. Ekonomi AS dianggap tangguh

Sementara itu, Georgieva mengatakan ekonomi AS berdiri terpisah dan dapat menghindari kontraksi langsung, yang kemungkinan akan menimpa sepertiga dari ekonomi dunia.
"AS paling tangguh dan dapat menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja tetap cukup kuat," ungkapnya.
Tetapi, fakta itu sendiri menghadirkan risiko karena dapat menghambat kemajuan yang perlu dibuat Bank Sentral AS atau Fed dalam membawa inflasi AS kembali ke level yang ditargetkan. Inflasi AS mencapai level tertinggi dalam empat dekade pada tahun lalu.
Inflasi menunjukkan tanda-tanda telah melewati puncaknya saat tahun 2022 berakhir, tetapi dengan ukuran yang disukai Fed, inflasi tetap hampir tiga kali lipat dari target 2 persennya.
"Ini adalah berkah campuran karena jika pasar tenaga kerja sangat kuat, Fed mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih lama untuk menurunkan inflasi," kata Georgieva.
Tahun lalu, dalam pengetatan kebijakan paling agresif sejak awal 1980-an, Fed menaikkan suku bunga acuannya dari mendekati nol pada Maret ke kisaran saat ini 4,25 persen menjadi 4,50 persen. Pejabat Fed bulan lalu memproyeksikan akan menembus 5 persen pada 2023.
3. Pertumbuhan PDB global akan mandek di angka 2,7 persen

Pada Oktober, IMF memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global pada 2023, yang mencerminkan hambatan yang terus berlanjut dari perang di Ukraina serta tekanan inflasi dan suku bunga tinggi yang direkayasa oleh Fed. Itu ditunjukkan untuk membawa tekanan harga tersebut ke tingkat yang lebih rendah.
Dalam laporan CNBC, Rabu (28/12/2022), IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan PDB global akan melambat dari 6 persen pada 2021 menjadi 3,2 persen pada 2022, dan 2,7 persen pada tahun 2023.
IMF melihatnya sebagai pertumbuhan terlemah sejak 2001 kecuali untuk krisis keuangan global dan fase akut dari pandemik COVID-19.
Sementara itu, inflasi global diperkirakan akan meningkat dari 4,7 persen pada 2021 menjadi 8,8 persen pada 2022, sebelum turun menjadi 6,5 persen pada 2023 dan menjadi 4,1 persen pada 2024.