Industri Otomotif Waspadai Dampak Kebijakan Proteksionis AS

- Kebijakan proteksionis AS berdampak negatif pada industri otomotif Indonesia, terutama pasar ekspor ke ASEAN dan Amerika Latin.
- Industri harus adaptif dengan menyusun strategi jangka menengah hingga panjang, memperkuat daya beli domestik, dan fleksibel dalam ekspor.
- Toyota melihat peluang dalam transisi kendaraan listrik dan berencana menjadikan Indonesia sebagai basis produksi komponen kendaraan listrik global.
Jakarta, IDN Times – Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Nandi Julyanto, mengungkapkan bahwa kebijakan proteksionis Amerika Serikat mulai menimbulkan efek tidak langsung terhadap industri otomotif nasional, khususnya pada pasar ekspor.
Kondisi ini, menurutnya, menuntut pelaku industri untuk lebih adaptif dalam menyusun strategi jangka menengah hingga panjang.
“Yang paling terasa adalah dampak terhadap negara tujuan ekspor kami seperti ASEAN dan Amerika Latin. Jika ekonomi mereka terpukul, ekspor kami pun menurun,” kata Nandi, Kamis (15/5/2025).
1. Perkuat industri otomotif nasional

Menurutnya, tantangan ini harus direspons dengan memperkuat posisi industri otomotif nasional, baik melalui peningkatan daya beli domestik maupun pengembangan strategi ekspor yang lebih fleksibel terhadap dinamika global.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan daya beli dalam negeri sebagai penopang utama pertumbuhan industri otomotif nasional.
“Kami pernah merasakan dampak positif ketika insentif pajak kendaraan diterapkan selama pandemi. Volume penjualan naik, pemasukan negara juga meningkat,” katanya.
2. Toyota bakal jadikan Indonesia basis produksi komponen kendaraan listrik global

Terkait dinamika rantai pasok global dan transisi menuju kendaraan listrik, Nandi menilai kondisi ini sebagai sebuah peluang. Bahkan, Toyota berencana menjadikan Indonesia sebagai basis produksi komponen kendaraan listrik global, seperti baterai, unit penggerak, dan power control unit (PCU), melalui kerja sama dengan mitra asal Tiongkok.
“Dengan penetrasi mobil listrik yang sangat tinggi di Tiongkok bahkan mencapai 50 persen di kota-kota besar seperti Shanghai Indonesia berpotensi menjadi pasar pelimpahan produk akibat tingginya tarif di Eropa dan Amerika Serikat,” tegasnya.
Nandi mengingatkan bahwa peluang tersebut harus dimanfaatkan dengan cermat, meskipun keputusan akhir tetap berada di tangan konsumen.
“Dalam setiap kesempitan selalu ada kesempatan. Kita harus pintar membaca peluang dan menjalin kerja sama strategis,” jelasnya.
3. Pertumbuhan ekonomi diproyeksi hanya sentuh 4,5 persen

Chief Economist PermataBank, Josua Pardede, memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 diperkirakan berada di kisaran 4,5 hingga 5 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,11 persen.
Perlambatan ekonomi domestik diikuti oleh aliran modal asing keluar (capital outflow) dari pasar saham, karena prospek pertumbuhan ekonomi dinilai memiliki dampak langsung terhadap potensi keuntungan korporasi.
"Investor di pasar saham juga mempertimbangkan bagaimana prospek pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berimplikasi pada corporate earnings. Hal ini menjadi salah satu faktor yang turut memengaruhi kinerja nilai tukar rupiah,” jelasnya.