KPPU Minta Pemerintah Kaji Ulang Kebijakan Impor BBM Buat SPBU Swasta

- Analisis KPPU terhadap kebijakan impor BBM non-subsidi
- Risiko persaingan usaha tidak sehat akibat pembatasan impor
- KPPU meminta evaluasi berkala terhadap kebijakan impor BBM non-subsidi
Jakarta, IDN Times - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendukung langkah pemerintah dalam mengatur impor, termasuk impor bahan bakar minyak (BBM).
Kebijakan tersebut dinilai sebagai strategi yang dapat memperkuat ketahanan energi dan memperbaiki neraca perdagangan nasional.
"Kebijakan ini tidak hanya berperan dalam menekan defisit transaksi migas, tetapi juga mendorong pemanfaatan optimal sumber daya dalam negeri," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur dalam keterangan resmi, Kamis (18//9/2025).
Sejalan dengan itu, KPPU melakukan analisis dan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM, BPH Migas, serta badan usaha (BU) BBM non-subsidi untuk menjaga kelancaran distribusi dan ketersediaan pasokan di pasar.
1. Analisis KPPU atas kebijakan impor buat swasta

KPPU mengungkap telah menganalisis kebijakan ESDM terkait penambahan impor BBM non-subsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan 2024. Aturan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 yang diterbitkan pada 17 Juli 2025.
Hasil analisis menunjukkan, hal itu berdampak pada kelangsungan operasional badan usaha (BU) swasta yang bergantung penuh pada impor. Selain itu, konsumen kehilangan pilihan produk BBM non-subsidi, sementara dominasi pasar Pertamina semakin menguat.
Keterbatasan pasokan BBM non-subsidi juga disebut memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat dan pelaku usaha. Padahal, tren konsumsi BBM non-subsidi menunjukkan perkembangan positif yang perlu dijaga.
"Keterbatasan pasokan BBM non-subsidi telah berdampak pada berkurangnya pilihan konsumen di pasar dan memengaruhi kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat maupun pelaku usaha. Padahal, tren peningkatan konsumsi BBM non-subsidi menunjukkan perkembangan positif yang sebaiknya terus dijaga," ujarnya.
Data KPPU mencatat, tambahan volume impor yang diberikan kepada BU swasta hanya berkisar 7.000-44.000 kiloliter. Sementara itu, PT Pertamina Patra Niaga mendapatkan tambahan sekitar 613.000 kiloliter.
Kondisi itu membuat pangsa pasar Pertamina Patra Niaga mencapai sekitar 92,5 persen, sedangkan BU swasta hanya berada di kisaran 1-3 persen.
2. Risiko persaingan usaha tidak sehat

Dari sisi persaingan usaha, KPPU menilai kebijakan pembatasan impor BBM non-subsidi perlu dilihat menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) yang diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2023.
KPPU mengidentifikasi kebijakan tersebut bersinggungan dengan DPKPU, khususnya indikator pembatasan jumlah pasokan serta penunjukan pemasok tertentu. Hal itu terlihat dari arahan agar BU swasta membeli pasokan ke Pertamina saat stok habis, maupun wacana impor BBM non-subsidi melalui satu pintu.
Menurut KPPU, situasi tersebut berpotensi menimbulkan risiko pembatasan pasar, diskriminasi harga dan pasokan, hingga memperkuat dominasi pelaku tertentu.
Selain itu, pemanfaatan infrastruktur BU swasta menjadi terbatas dan berpotensi menimbulkan inefisiensi. Hal tersebut dapat memberi sinyal negatif bagi investasi baru di sektor hilir migas.
"Oleh karena itu, penting agar kebijakan yang diambil tetap memperhatikan keseimbangan antara tujuan stabilitas energi, efisiensi pasar, serta keberlanjutan iklim investasi," sebutnya.
3. KPPU minta evaluasi berkala

KPPU menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap kebijakan impor BBM non-subsidi. Tujuannya agar tercipta iklim usaha yang seimbang bagi semua pelaku usaha, baik BUMN maupun swasta.
KPPU menyebut, keseimbangan ini dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional yang ditetapkan Presiden RI. Dukungan itu bisa diwujudkan melalui peningkatan investasi dan peran BU swasta, selain penguatan BUMN.
"Sejalan dengan itu, KPPU mendorong agar setiap kebijakan yang dirumuskan tetap selaras dengan berbagai indikator dalam DPKPU," tambahnya.
Dengan begitu, tujuan menjaga stabilitas energi dan neraca perdagangan migas dapat tercapai tanpa mengorbankan prinsip persaingan usaha yang sehat maupun pilihan produk bagi konsumen.