Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

10 Negara yang Pernah Redenominasi, Begini Sejarahnya

10 Negara yang Pernah Redenominasi, Begini Sejarahnya
ilustrasi uang kertas luar negeri (unsplash.com/@snowjam)
Intinya sih...
  • Redenominasi dilakukan untuk menstabilkan ekonomi akibat hiperinflasi dan penurunan drastis nilai mata uang.
  • Keberhasilan redenominasi bergantung pada stabilitas politik dan kebijakan ekonomi yang konsisten setelah perubahan nominal dilakukan.
  • Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa redenominasi bukan solusi utama, melainkan bagian dari reformasi ekonomi yang lebih luas untuk memulihkan kepercayaan publik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Fenomena redenominasi mata uang bukan hal baru di dunia ekonomi. Langkah ini diambil oleh banyak negara ketika inflasi melambung tinggi dan nilai uang kehilangan daya beli. Tujuannya sederhana yaitu, menyederhanakan nilai nominal tanpa mengubah daya tukar, sekaligus memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan negara.

Seiring rencana pemerintah Indonesia yang tengah membahas Rancangan Undang-Undang Redenominasi Rupiah, pengalaman negara lain dapat menjadi cerminan berharga. Berikut daftar negara yang pernah melakukan redenominasi besar-besaran dalam sejarah dunia.

1. Jerman

ilustrasi Jerman (unsplash.com/Maheshkumar Painam)
ilustrasi Jerman (unsplash.com/Maheshkumar Painam)

Usai Perang Dunia I, Jerman terpuruk akibat beban reparasi perang yang berat. Pemerintah kala itu mencetak uang secara berlebihan hingga menyebabkan hiperinflasi ekstrem. Pada 1923, harga barang melambung hingga 29.500 persen dan selembar uang 100 triliun papiermark hanya bernilai 24 dolar AS.

Untuk menstabilkan ekonomi, pemerintah memperkenalkan mata uang baru, rentenmark, dengan nilai tukar 1 triliun papiermark setara 1 rentenmark. Langkah ini berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi Jerman dan menjadi cikal bakal munculnya reichsmark yang lebih kuat di bawah pemerintahan berikutnya.

2. Yunani

ilustrasi negara Yunani (pexels.com/Matheus Bertelli)
ilustrasi negara Yunani (pexels.com/Matheus Bertelli)

Inflasi parah akibat perang membuat Yunani terpaksa mengganti drachma lama pada 1944. Uang 100 miliar drachma kala itu hampir tak punya nilai. Setelah redenominasi dilakukan, ekonomi mulai pulih meski inflasi masih tinggi selama beberapa tahun berikutnya.

Pemerintah kembali melakukan penyesuaian mata uang pada 1954, dan akhirnya menggantikan drachma dengan euro pada 2001. Transisi ini menandai babak baru dalam sistem keuangan Yunani yang kini terintegrasi dengan Uni Eropa.

3. Hungaria

Ilustrasi Bendera Hungaria (freepik.com/wirestock)
Ilustrasi Bendera Hungaria (freepik.com/wirestock)

Hungaria mencatat sejarah dengan redenominasi terbesar di dunia pada 1946. Pemerintah mengganti mata uang pengo dengan forint dengan rasio luar biasa yaitu, 400 oktiliun pengo menjadi satu forint.

Krisis ekonomi dan perang membuat harga naik hingga lima kali dalam sehari. Untuk mengatasi kekacauan, pemerintah bahkan sempat mencetak pecahan hingga 20 oktiliun pengo sebelum akhirnya sistem moneter baru diberlakukan. Kini, forint tetap menjadi mata uang resmi Hungaria yang stabil.

4. China

Bendera negara China (pixabay.com/SW1994)
Bendera negara China (pixabay.com/SW1994)

Pasca perang saudara dan pendudukan Jepang, China dilanda inflasi tak terkendali. Pemerintah Kuomintang sempat memperkenalkan yuan emas pada 1948 dengan rasio 3 juta banding 1, namun gagal menghentikan inflasi.

Pada 1949, pemerintahan baru memperkenalkan renminbi (RMB) sebagai mata uang nasional, menggantikan yuan lama. Kebijakan ini berhasil menstabilkan ekonomi dan RMB kini menjadi salah satu mata uang paling berpengaruh di dunia.

5. Bolivia

Penampakan geografis negara Bolivia (kimkim.com)
Penampakan geografis negara Bolivia (kimkim.com)

Krisis ekonomi dan inflasi hingga 20.000 persen memaksa Bolivia mengganti peso boliviano dengan boliviano baru pada 1987. Rasio penukarannya mencapai 1 juta banding 1.

Langkah drastis ini berhasil menekan inflasi dan menstabilkan ekonomi. Sejak itu, boliviano baru tetap digunakan hingga sekarang, menjadi simbol keberhasilan reformasi moneter Bolivia.

6. Nikaragua

ilustrasi Nikaragua (Pexels.com/ROBERTO ZUNIGA)
ilustrasi Nikaragua (Pexels.com/ROBERTO ZUNIGA)

Nikaragua menghadapi inflasi hingga 13.000 persen akibat konflik internal dan kehancuran ekonomi. Setelah beberapa kali gagal menekan harga, pemerintah memperkenalkan cordoba kedua pada 1991 dengan rasio 5 juta banding 1.

Reformasi ini berhasil menurunkan inflasi dan menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Meski ekonomi masih menghadapi tantangan, mata uang baru membawa stabilitas lebih baik.

7. Republik Zaire

Ilustrasi bendera Republik Kongo. (Pixabay.com/DavidRockDesign)
Ilustrasi bendera Republik Kongo. (Pixabay.com/DavidRockDesign)

Negara yang kini bernama Republik Demokratik Kongo sempat mengalami gejolak ekonomi dan politik berkepanjangan. Pada 1993, pemerintah memperkenalkan nouveau zaïre untuk menggantikan zaire lama.

Namun, tingginya korupsi dan konflik internal membuat kebijakan itu gagal. Akhirnya, pada 1997, pemerintah kembali menggunakan franc Kongo sebagai mata uang resmi yang masih digunakan hingga saat ini.

8. Yugoslavia

Antara 1992 hingga 1994, Yugoslavia menghadapi hiperinflasi terpanjang ketiga di dunia. Dalam waktu dua tahun, pemerintah melakukan empat kali redenominasi mata uang dinar.

Dinar 1994 menjadi yang paling singkat masa berlakunya, hanya satu bulan sebelum diganti lagi dengan Novi Dinar yang dipatok terhadap mark Jerman. Upaya itu membantu memulihkan stabilitas moneter setelah periode kelam tersebut.

9. Turki

ilustrasi Turki (unsplash.com/Michael Jerrard)
ilustrasi Turki (unsplash.com/Michael Jerrard)

Selama lebih dari tiga dekade, Turki hidup dalam inflasi tinggi hingga nilai tukar mencapai 1,3 juta lira per dolar AS. Pada 2005, pemerintah melakukan redenominasi dengan menghapus enam nol dan memperkenalkan lira baru.

Empat tahun kemudian, kata “baru” dihapus dan kembali disebut lira Turki. Reformasi moneter ini dianggap sukses karena menstabilkan ekonomi, meski belakangan inflasi kembali menjadi tantangan.

10. Zimbabwe

bendera Zimbabwe (pixabay.com/scooterenglasias)
bendera Zimbabwe (pixabay.com/scooterenglasias)

Zimbabwe mengalami empat kali pergantian mata uang antara 2006–2009 akibat inflasi luar biasa. Pada puncaknya, inflasi mencapai 79,6 miliar persen per bulan dan uang seratus triliun dolar Zimbabwe hanya cukup untuk membeli satu roti.

Pemerintah sempat menghapus 12 nol dan memperkenalkan dolar Zimbabwe baru, namun gagal menahan krisis. Akhirnya, pada 2009, Zimbabwe melegalkan penggunaan dolar AS dan rand Afrika Selatan sebelum kembali ke mata uang nasional pada 2019.

Redenominasi memang bukan solusi ajaib, namun sejarah menunjukkan langkah ini dapat menjadi titik balik pemulihan ekonomi bila disertai reformasi menyeluruh. Seperti yang disampaikan oleh ekonom dunia dalam laporan IMF Historical Monetary Studies (2023), “Redenominasi hanya efektif ketika kepercayaan publik ikut dibangun kembali, bukan sekadar menghapus nol di atas kertas.”

FAQ seputar Negara yang Pernah Melakukan Redenominasi Mata Uang

Kapan pertama kali redenominasi dilakukan di dunia?

Redenominasi pertama kali terjadi di Jerman pada tahun 1923, saat negara tersebut mengalami hiperinflasi pasca Perang Dunia I dan mengganti mata uang lama menjadi Rentenmark.

Apa perbedaan redenominasi dengan devaluasi?

Redenominasi hanya mengubah satuan nominal uang tanpa mengurangi nilainya, sedangkan devaluasi menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang asing.

Apakah redenominasi bisa menghapus inflasi?

Tidak selalu. Redenominasi hanya menyederhanakan nilai uang, bukan solusi untuk inflasi. Jika kebijakan ekonomi tidak diperbaiki, inflasi bisa tetap terjadi.

Negara mana yang sering melakukan redenominasi berulang kali?

Zimbabwe termasuk negara yang paling sering redenominasi karena mengalami hiperinflasi ekstrem hingga triliunan persen pada 2000-an.

Apa syarat agar redenominasi bisa berhasil?

Keberhasilan redenominasi bergantung pada stabilitas ekonomi, kepercayaan publik, dan pengelolaan fiskal yang baik agar tidak menimbulkan kebingungan dan krisis baru.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Jumawan Syahrudin
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in Business

See More

Harga Emas Antam Hari Ini Melesat Rp29 Ribu, Dekati Rp2,4 Juta per Gram

13 Nov 2025, 09:50 WIBBusiness