Perang Diskon Mobil Listrik di China Bikin Saham BYD Jatuh

- Persaingan harga ekstrem ganggu pasar mobil listrik China BYD.
- Ekspansi global BYD dorong pertumbuhan pendapatan.
- Analis berbeda pandangan soal prospek BYD.
Jakarta, IDN Times – Harga saham produsen mobil listrik asal China, BYD, merosot hingga 8 persen pada Senin (1/9/2025). Penurunan ini muncul setelah laporan laba perusahaan anjlok akibat perang harga yang kian brutal di industri otomotif China. Padahal, pendapatan BYD justru tumbuh 14 persen menjadi sekitar 201 miliar yuan (setara Rp462 triliun) berkat penjualan internasional yang kuat.
Laporan keuangan pada Jumat (29/8/2025), mencatat laba bersih periode April–Juni hanya 6,36 miliar yuan (setara Rp14,6 triliun), turun 30 persen dibanding tahun sebelumnya. Kondisi tersebut menunjukkan tekanan berat bahkan bagi raksasa mobil listrik terdepan di China.
Profesor Laura Wu dari Nanyang Technological University menilai tren ini mencerminkan keresahan investor. “(Penurunan) harga saham pagi ini menandakan kekecewaan investor,” katanya, dikutip dari BBC.
Ia menambahkan upaya pemerintah menghentikan perang harga sulit dilakukan karena jumlah produsen mobil listrik yang berlebihan dapat memicu banjir produk di masa depan.
1. Persaingan harga ekstrem ganggu pasar mobil listrik China

BYD yang berbasis di Shenzhen menyoroti ketatnya persaingan harga dan praktik industri yang dianggap bermasalah, termasuk promosi berlebihan serta potongan harga ekstrem. Praktik ini membuat pasar mobil listrik di China semakin tidak stabil. Pemain besar seperti BYD, NIO, XPeng, dan Tesla dari Amerika Serikat (AS) sama-sama terlibat dalam pemangkasan harga untuk merebut konsumen.
Dilansir dari CNBC, dalam dua tahun terakhir, harga rata-rata mobil di China turun 19 persen menjadi sekitar 165 ribu yuan (setara Rp379 juta). Regulator China sempat mengeluarkan peringatan pada Mei 2025 terkait praktik curang, seperti diskon agresif dan penundaan pembayaran kepada pemasok. Kebijakan ini ikut mengganggu strategi lama BYD yang selama ini mengandalkan kekuatan rantai pasokan untuk menjaga harga lebih rendah.
2. Ekspansi global BYD dorong pertumbuhan pendapatan

Meski laba kuartalan menurun, kinerja BYD pada semester pertama 2025 justru tetap impresif. Pendapatan perusahaan melonjak 23 persen menjadi 371,3 miliar yuan (setara Rp853 triliun), sementara laba bersih naik hampir 14 persen menjadi 15,5 miliar yuan (setara Rp35,6 triliun). Lonjakan ini didorong penjualan kendaraan energi baru yang mencetak rekor.
BYD memasang target ambisius menjual 5,5 juta unit mobil sepanjang 2025. Namun, hingga akhir Juli, baru 2,49 juta unit yang berhasil dipasarkan. Kontribusi besar datang dari pasar internasional, di mana pendapatan BYD tumbuh 50 persen dibanding tahun lalu.
Di Eropa saja, lebih dari 13 ribu unit kendaraan BYD baru terdaftar pada Juli 2025, melonjak 225 persen dari periode sama tahun lalu. Untuk mengantisipasi permintaan, perusahaan membuka ruang pamer di berbagai kota Eropa, sekaligus memperkenalkan produk dengan harga bersaing di Brasil dan Meksiko. Ekspansi ini ditopang armada kapal kargo khusus serta rencana pendirian pabrik di Brasil, Hungaria, dan Turki.
3. Analis berbeda pandangan soal prospek BYD

Sejumlah analis menilai strategi pemotongan harga BYD kini tidak lagi seefektif dulu karena adanya pembatasan regulasi.
“Singkatnya, ‘kereta keberuntungan’ BYD — yang didorong oleh skala, pemotongan biaya, dan kepemimpinan teknologi — telah kehilangan kecepatan. Hingga momentumnya kembali, kinerja yang kurang baik kemungkinan akan terjadi,” kata analis dari Jefferies, dikutip dari Business Insider.
Pandangan ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa keuntungan jangka pendek akan terus tertekan.
Namun, ada pula analisis yang lebih optimistis. Judith MacKenzie dari Downing Fund Managers menilai performa BYD tetap berada di jalur positif meski ada hambatan.
“Mereka telah mengalami kenaikan yang sangat pesat sehingga tidak masalah jika ada sedikit hambatan,” ujarnya kepada BBC.
MacKenzie juga menyoroti capaian BYD yang sukses menyalip Tesla sebagai produsen mobil listrik terbesar dunia berdasarkan pendapatan tahunan pada 2024. Pencapaian tersebut ditopang permintaan kuat untuk kendaraan hibrida di China, Asia, dan Eropa.