Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jalur Sutra Digital XTransfer di TradeVision Summit 2025

Screen Shot 2025-09-19 at 13.59.51.png
XTransfer’s 2025 TradeVision Summit terbukti menjadi acara yang ramai, menarik lebih dari 3.000 peserta (Dok. XTransfer)
Intinya sih...
  • Perdagangan global menghadapi hambatan tarif
  • XTransfer mengembangkan solusi pembayaran lokal di pasar negara berkembang
  • Penggunaan kecerdasan buatan untuk pengendalian risiko dan kepatuhan global
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pada 26 Agustus, Guangzhou menjadi tuan rumah TradeVision Summit 2025, salah satu acara perdagangan tahunan utama di Tiongkok yang mempertemukan lebih dari 3.000 eksportir, pabrik, dan perusahaan perdagangan. Diselenggarakan oleh XTransfer, platform pembayaran lintas batas B2B berbasis di Shanghai, acara ini menghadirkan peluang baru bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di tengah perubahan pasar global. Sejak berdiri pada 2017, XTransfer telah berkembang pesat dengan melayani lebih dari 700.000 klien perusahaan di seluruh dunia serta mengantongi lisensi pembayaran di berbagai negara, termasuk Tiongkok, Singapura, Inggris, hingga Amerika Serikat.

Dalam pidato kuncinya, Bill Deng, pendiri dan CEO XTransfer, menyoroti tiga pertanyaan utama yang akan membentuk masa depan perdagangan internasional: di mana peluang pasar baru akan muncul, bagaimana pembayaran lintas batas bisa menyeimbangkan kebebasan dengan kepatuhan, serta bagaimana X-Net, jaringan keuangan baru XTransfer, akan mendefinisikan ulang peran UKM dalam perdagangan global.

1. Menyesuaikan diri di pasar global di bawah hambatan tarif

Screen Shot 2025-09-19 at 14.00.01.png
XTransfer’s 2025 TradeVision Summit terbukti menjadi acara yang ramai, menarik lebih dari 3.000 peserta (Dok. XTransfer)

Deng membuka pidatonya dengan menyoroti gejolak perdagangan global, termasuk tarif AS hingga 145 persen atas impor China pada April yang memicu konflik dagang. Dampaknya, aliran dana dari pembeli AS di XTransfer turun dari 22 persen pada 2018 menjadi 9 persen tahun ini. Meski ada gencatan senjata sementara, Deng menegaskan rantai pasokan global tak akan kembali ke pola lama. Proyeksi WTO juga memperkirakan perdagangan barang global menyusut 0,2 persen pada 2025 setelah tumbuh 2,9 persen di 2024, dengan pemulihan sekitar 2,5 persen baru terlihat pada 2026.

PMI XTransfer untuk ekspor B2B mencatat 52,4 persen pada Juli, menandakan pertumbuhan berkelanjutan. Afrika memimpin dengan 53,7 persen, disusul ASEAN (53,3 persen) dan Amerika Latin (52,8 persen). Produk bernilai tinggi seperti baterai lithium, kendaraan listrik, dan sel surya juga menonjol dengan indeks harga 58,3 persen, sejalan dengan proyeksi IEA bahwa penjualan kendaraan listrik global mencapai 20 juta unit tahun ini dan berpotensi melampaui 40 persen dari total penjualan mobil pada 2030.

Meski begitu, tantangan tetap besar. Sub-indeks logistik hanya 41,5 persen akibat kemacetan pengiriman, meski biaya kontainer turun ke sekitar USD 2.250 pada Agustus. Studi kasus PMI menyoroti strategi adaptif UMKM, seperti eksportir mesin Guangzhou yang membangun gudang luar negeri hingga pedagang tekstil Ningbo yang ekspansi ke Afrika Barat, menunjukkan daya tahan mereka menghadapi ketidakpastian global.

2. Kebebasan dan kepatuhan dalam pembayaran

Screen Shot 2025-09-19 at 14.00.09.png
Bill Deng, pendiri dan CEO XTransfer, berbicara di Summit TradeVision 2025 (Dok. XTransfer)

Salah satu tantangan terbesar bagi eksportir, menurut Deng, adalah penagihan di pasar negara berkembang, di mana pembeli kerap kesulitan mentransfer dolar AS sehingga transaksi terhambat. Untuk mengatasinya, XTransfer mengembangkan sistem akun penagihan lokal bersama bank mitra, memungkinkan eksportir menerima pembayaran langsung dalam mata uang seperti naira Nigeria, cedi Ghana, real Brasil, dan rand Afrika Selatan. Dengan mencakup lebih dari 80 persen volume perdagangan luar negeri China, solusi ini menjembatani “last mile” repatriasi dana sekaligus mengurangi ketergantungan pada perantara mahal.

Strategi XTransfer bersifat dua arah: di pasar matang seperti AS, Inggris, dan Singapura, fokus diberikan pada kepatuhan ketat, perolehan lisensi, serta layanan bagi perusahaan terdaftar; sementara di pasar berkembang, perusahaan meniru model keuangan digital China untuk menggantikan jalur informal dengan sistem yang legal dan diakui pemerintah. Untuk mendukungnya, XTransfer menstandarkan API bagi mitra bank dan membagi insentif secara jelas, dengan 90 persen nilai transaksi kembali ke klien dan 10 persen menjadi keuntungan bersama bank. Pendekatan ini menempatkan infrastruktur kepatuhan sebagai peluang bisnis yang menguntungkan bagi lembaga lokal.

3. Pengendalian risiko AI dan kepatuhan global

1756266235220.jpeg
Bill Deng, pendiri dan CEO XTransfer, berbicara di Summit TradeVision 2025 (Dok. Istimewa)

Mengelola bisnis global berarti menghadapi sistem keuangan yang terfragmentasi. Deng mengakui tantangan terbesar XTransfer adalah menjaga efisiensi sekaligus kepatuhan lintas yurisdiksi. Untuk itu, perusahaan berinvestasi besar pada kecerdasan buatan (AI) agar proses pengendalian risiko tetap berada dalam sistem internal. Hasilnya, tingkat persetujuan otomatis transaksi meningkat dari 96 persen menjadi lebih dari 99 persen hanya dalam setahun.

AI XTransfer menganalisis data dari berbagai sumber, mulai dari situs web perusahaan, catatan bea cukai, hingga media sosial multibahasa. Teknologi ini bahkan mampu mengurai catatan pembayaran acak yang tak terbaca sistem tradisional, seperti kasus ubin keramik baru dan memvalidasi transaksi tanpa penundaan. Pencapaian ini didukung oleh kombinasi model AI sumber terbuka dan model khusus domain yang dilatih untuk mendeteksi penipuan serta meminimalkan kesalahan.

Selain itu, XTransfer menerapkan kerangka lima langkah bersama bank dan regulator: identifikasi profil pelanggan, analisis risiko, penetapan kontrol, pengukuran hasil, serta optimasi strategi. Deng menegaskan, manfaat AI kini lebih luas dari sekadar kepatuhan. UMKM dapat menggunakannya untuk membaca kebijakan perdagangan atau memprediksi permintaan pasar, sehingga menekan biaya riset. “Bahkan perusahaan satu orang pun kini bisa beroperasi secara global,” ujarnya.

4. Membawa UMKM ke peta keuangan global

tradevision-scmp1_hero-image.jpg
XTransfer’s 2025 TradeVision Summit terbukti menjadi acara yang ramai, menarik lebih dari 3.000 peserta (Dok. Istimewa)

KTT tersebut juga menjadi ajang peluncuran white paper XTransfer untuk X-Net, sebuah inisiatif yang membayangkan platform penghubung antara bank global, perusahaan impor-ekspor, dan infrastruktur stablecoin. Meski masih berupa peta jalan, regulasi terbaru seperti aturan stablecoin Hong Kong yang berlaku mulai 1 Agustus dan pengesahan GENIUS Act di AS pada Juli membuat ambisi ini kian nyata.

Menurut Deng, stablecoin dapat mengatasi kendala lama perbankan koresponden, di mana pembayaran lintas batas bisa menelan biaya USD 50–100 dan memakan waktu hingga seminggu. Dengan stablecoin, transaksi dapat dilakukan instan, transparan, dan beroperasi 24/7. Dikombinasikan dengan rekening penagihan lokal XTransfer, teknologi ini dinilai mampu menyederhanakan rantai pembayaran global.

Deng optimistis penggunaan stablecoin akan tumbuh pesat dan dalam tiga tahun bisa melampaui separuh total transaksi perdagangan. Alih-alih menerbitkan stablecoin sendiri, XTransfer ingin berperan sebagai penyedia infrastruktur bagi stablecoin yang diterbitkan bank besar. Perusahaan juga merancang dompet dual-currency untuk fiat dan stablecoin, yang oleh sebagian klien dijuluki sebagai “Alipay atau WeChat Pay untuk perdagangan luar negeri.”

5. Menjelajahi "Jalur Sutra Digital"

图片-1.png
XTransfer telah melampaui lebih dari 700.000 klien global (Dok. Istimewa)

Melalui strategi ekspansi ke pasar emerging, inovasi kepatuhan berbasis AI, dan visi penyelesaian B2B global lewat X-Net, XTransfer berupaya menjadi jembatan penting bagi fase baru globalisasi. Afrika menjadi sorotan, dengan kesenjangan pendanaan infrastruktur USD 68–108 miliar per tahun yang disebut Deng sebagai “lautan biru baru” bagi UMKM, menurut Bank Pembangunan Afrika.

Bagi Deng, perdagangan tak hanya soal barang, tetapi juga layanan, budaya, dan ketahanan dari pabrik luar negeri hingga ekspor budaya seperti mainan dan video game. Karena itu, TradeVision Summit bukan sekadar forum tarif dan pembayaran, melainkan perancangan “awal baru” bagi UMKM global. “Misi kami tidak pernah goyah,” kata Deng. “Untuk membuat layanan keuangan dapat diakses oleh UMKM di seluruh dunia.”

**Artikel ini diterbitkan bekerja sama dengan XTransfer.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anastasia Desire
EditorAnastasia Desire
Follow Us

Latest in Business

See More

Pegadaian Luncurkan Program GARUDA di Universitas Brawijaya

19 Sep 2025, 16:26 WIBBusiness