[CERPEN] Malam-Malam Panjang

sedu yang bertahan

Mulai lagi.  

Kamar hening bersisa derik jangkrik di pekarangan rumah. Mataku masih menyala, menatap lurus bohlam yang tak lagi berpendar. Pikiranku merangkak jauh. Lagi-lagi bergerak menuju masa empat tahun silam. Kuhela napas perlahan memejamkan mata.

Pergantian malam dan siang setiap hari selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tak jua menghilangkan bekas yang sesak di dada. Lekat dan bergumul hingga selalu membikin aku gusar. Mau sampai kapan begini? Mau sampai kapan kau menghantui benakku?

Nah. Semakin aku memejamkan mata, ingatan itu justru kian meledekku dengan memutar dirinya dalam bentuk film dokumenter. Kenangan demi kenangan putih biru disusupi memberi harapan akan datangnya kebersamaan hingga menua nanti. Perlahan menyusut tertinggal kejadian demi kejadian hanya aku sendiri yang terasing tanpa pernah tahu alasanmu pergi.

Bersisa tanda tanya dan rasa bersalah mengungkung diriku untuk terus ingin meminta maaf entah kepada siapa. Entah kepada apa. Tidak ada jembatan untuk mengirim bahkan sebongkah kata-kata. Lantas, bagaimana? Bicara pada angin? Angin yang katanya membawa salam pada siapa saja itu pun sudah sering menipu. Sampai sekarang, tak satu pun ada kabar baik maupun buruk datang sebagai balasan.

“Ras, kok sekarang kita bisa dekat ya?”

“Hm, enggak tahu juga nih Fay.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Padahal dulu aku takut banget sama kamu lho, haha! Soalnya, dari awal masuk sekolah kamu kelihatannya galak banget. Lagi pula, kamu punya banyak teman. Beda jauh sama aku.”

“Jangan ngomong gitu, dong. Kamu sih, menilai orang dari sampulnya.”

“Ya maaf, Ras!" 

Sampai sekarang aku pun masih merasa bingung. Seperti lelucon, entah bagaimana bisa persahabatan itu terjalin lalu tiba-tiba asing tanpa alasan. Merenggang. Kau tahu, selama empat tahun memoar itu tak hilang dan masih berkeliaran dalam benakku seperti kerucil nakal. Tapi aku lelah. Kamu tahu lelah, Laras? Tahu tidak? Entah kamu sudah lupa denganku atau berada di dunia antah berantah.

Kadang aku pikir aku ini sudah bukan lagi merasa kehilangan, tetapi sudah gila. Kadang aku takut kamu sesungguhnya tidak pernah pergi, hanya aku yang ketakutan dan berdelusi. Kadang aku meracau dalam mimpi, merajut ingatan baru yang dapat aku jadikan sebagai bukti. Kadang aku hanya ingin membenarkan segala rasa bersalah dan menafikan hal-hal yang nyata.

Lagi-lagi malam panjang harus kusudahi sebelum dipenggal oleh ingatan sendiri. Bohlam tak lagi berpendar, mataku masih menyala terang.***

2020.

Baca Juga: [CERPEN] Sepucuk Surat Kepada Subuh

Alanis Kavi Photo Verified Writer Alanis Kavi

move

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya