Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Papan Tulis di Ujung Langit

ilustrasi anak SD (unsplash.com/Bayu Syaits)
ilustrasi anak SD (unsplash.com/Bayu Syaits)

Pagi belum benar-benar terang di Kampung Rapamanu Sumba Timur. Kabut tipis masih merayapi lereng bukit, menyembunyikan jalanan berbatu yang harus Dian lewati setiap hari. Di tangannya, tumpukan modul Kurikulum Merdeka Belajar yang ia fotokopi dengan biaya sendiri terasa semakin berat.

"Sudahlah, Bu Guru. Kurikulum apapun, yang penting anak-anak bisa baca tulis," kata Kepala Dusun suatu pagi. Dian hanya tersenyum tipis.

Sekelompok murid kelas lima sudah menunggu di teras sekolah—bangunan semi permanen dengan dinding setengah kayu setengah tembok yang dicat putih kusam. SD Negeri 1 Rapamanu hanya memiliki tiga ruang kelas untuk enam tingkatan.

"Selamat pagi, Bu Guru," sapa mereka serempak.

"Selamat pagi, anak-anak. Sudah sarapan?" Dian mengeluarkan roti dari tasnya, dibagikan untuk beberapa anak yang belum makan.

"Kurikulum baru lagi, Bu?" tanya Umbu, murid paling aktif.

"Iya, sekarang namanya Kurikulum Merdeka Belajar Plus," jawab Dian sambil menyalakan laptop tua yang langsung menampilkan pesan "Baterai Lemah".

Listrik di sekolah ini hanya menyala dari pukul 8 pagi hingga 2 siang, berkat generator kecil yang dibeli dari dana BOS tiga tahun lalu. Sekarang powerbank biru, investasi pribadinya menjadi penyelamat.

Siang itu, saat istirahat, Dian membuka email di ponselnya yang dipasangi penguat sinyal buatan sendiri—kaleng bekas yang dipotong dan dibentuk parabola kecil.

Tiga puluh satu email belum dibaca. Semuanya tentang pembaruan kurikulum, jadwal pelatihan online, dan undangan webinar "Optimalisasi Penggunaan Teknologi AI dalam Pembelajaran Era Disrupsi."

Dian tertawa pahit. AI? Di sini, untuk membuka halaman web saja butuh kesabaran ekstra.

Ponselnya bergetar. Kepala sekolah di grup WhatsApp mengingatkan tentang deadline pengisian rapor digital. "WAJIB SELESAI HARI INI," tulisnya dengan huruf kapital. Seolah huruf besar bisa mengatasi masalah sinyal yang hilang-timbul.

Pulang sekolah, Dian mengumpulkan murid kelas enam untuk pelajaran tambahan.

"Ibu, kenapa soal-soal latihannya berbeda dengan yang ada di buku?" tanya Umbu.

"Karena ujiannya nanti menggunakan soal-soal berbasis HOTS—Higher Order Thinking Skills," jelas Dian.

"Hos apa, Bu?"Umbu mengerutkan dahi.

"HOTS. Berpikir tingkat tinggi. Jadi bukan hanya mengingat, tapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan."

"Tapi di buku ini tidak ada, Bu," Umbu menunjukkan buku paket kurikulumnya yang sudah lusuh.

"Buku itu kurikulum lama, Umbu. Kurikulum kita sekarang sudah berbeda."

"Kenapa ganti-ganti terus, Bu?"

Dian terdiam. Bagaimana menjelaskan pada anak-anak ini bahwa pendidikan di negeri ini seperti laboratorium percobaan yang terus berubah?

"Karena dunia berubah, jadi cara belajar kita juga harus berubah," jawabnya diplomatis.

Malam di rumah dinas guru—bangunan kayu sederhana tanpa plafon—Dian duduk di depan laptop, menyelesaikan administrasi yang tak ada habisnya.

Ia membuka modul yang diunduhnya. Semua tentang pembelajaran digital, flipped classroom, dan gamifikasi pembelajaran.

Dian mengusap wajahnya yang lelah. Di desa ini, listrik hanya menyala 12 jam sehari. Internet stabil hanya dalam mimpi.

Ia teringat pelatihan di kota. Pemateri dari Jakarta dengan enteng menjawab keluhannya, "Ibu bisa modifikasi sesuai kondisi. Yang penting esensinya sama."

Modifikasi. Kata yang terlalu halus untuk menggambarkan perjuangannya setiap hari—mengubah konsep pembelajaran abad 21 menjadi sesuatu yang aplikatif dengan papan tulis dan kapur.

Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam ketika listrik padam sesuai jadwal. Dian menatap layar laptop yang perlahan menggelap. Ia mengeluarkan lilin dari laci dan menyalakannya. Di bawah cahaya temaram, ia melanjutkan pekerjaannya dengan pena dan kertas.

Di luar, langit Sumba dipenuhi ribuan bintang, tanpa gangguan polusi cahaya. Indah, seindah mata murid-muridnya yang berbinar penuh keingintahuan, meski tanpa proyektor, tanpa video interaktif, tanpa aplikasi pintar.

Dian tersenyum. Mungkin itulah esensi sejati dari Merdeka Belajar—kebebasan untuk tetap mengajarkan keajaiban pengetahuan, bahkan di bawah cahaya lilin, di ujung langit Indonesia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us