Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Rahasia di Balik Mobil yang Parkir di Jalan

Ilustrasi mobil parkir di jalan perumahan (unsplash.com/Andrew Pons)
Ilustrasi mobil parkir di jalan perumahan (unsplash.com/Andrew Pons)

Pagi itu, Dewi berdiri di depan jendela rumahnya, menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin. Pandangannya terpaku pada sebuah mobil putih yang terparkir di depan gerbang rumahnya. Ini bukan pertama kalinya mobil itu mengganggu pandangannya. Setiap pagi, mobil yang sama terparkir di sana, menutupi sebagian jalan dan menghalangi pemandangan dari rumahnya yang biasa tertata rapi.

"Kenapa sih mobil itu enggak pernah diparkir di garasi? Kan bikin jalanan penuh." Dewi bergumam, jengkel.

Dari dapur, suaminya, Arman, menoleh sebentar sebelum melanjutkan sarapannya. "Ya sudahlah, Bi. Jangan dipikirin terus. Mungkin garasi dia penuh."

Dewi mendengus pelan. "Bukan masalah penuh atau enggak, tapi ini soal menghormati orang lain. Jalanan ini kan untuk umum, bukan buat parkir permanen."

Dewi adalah tipe orang yang perfeksionis. Baginya, segala sesuatu harus tertata, rapi, dan sesuai aturan. Keberadaan mobil milik tetangganya, Adi, yang terus diparkir di jalan, seolah mengganggu harmonisasi perumahan ini.

-----

Siang harinya, Dewi tak lagi mampu menahan keresahannya. Setelah berhari-hari memendam rasa kesal, ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Adi. Dia berusaha menata kata-katanya, mencari cara agar percakapan ini tidak berujung pada perseteruan.

Dewi berdiri di depan pintu rumah Adi, mengetuk tiga kali. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Adi yang tersenyum ramah.

"Halo, Dewi! Ada apa? Masuk, yuk!" sapanya dengan suara ramah.

Dewi tersenyum, meski dalam hatinya perasaan tak nyaman menggulung. "Mas Adi, saya cuma mau ngobrol sebentar. Ini soal mobil Mas yang sering parkir di depan rumah saya."

Adi mengangguk, tampak tidak terkejut. "Oh, soal itu. Ya, kenapa ya?"

"Sebenarnya, mungkin ini kelihatannya sepele, tapi mobil Mas sering parkir di jalan depan rumah saya. Saya harap Mas bisa memarkirnya di garasi saja. Ini kan lingkungan perumahan, jadi rasanya lebih nyaman kalau mobil parkir di tempatnya."

Adi tertawa kecil, nada suaranya santai. "Ah, iya ya. Tapi jalan ini kan buat umum, jadi siapa pun bisa parkir di sini, kan?"

Dewi merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Iya, benar, tapi kan ini perumahan, Mas. Idealnya, mobil diparkir di garasi, bukan di jalan.”

Adi hanya tersenyum, mengangkat bahu seolah masalah ini kecil saja. "Ya, garasi saya penuh, Dewi. Lagian, jalanannya juga masih bisa dilewati, kan?"

Jawaban itu membuat Dewi terdiam sejenak. Bagaimana bisa Adi menganggap masalah ini begitu sederhana, padahal setiap pagi Dewi harus melihat mobil itu mengganggu pemandangan dan akses ke rumahnya? Tanpa bisa menahan diri lagi, Dewi menambahkan, “Tapi kan, Mas Adi, jalanan jadi sempit. Setiap hari saya harus mengarahkan anak-anak agar tidak mendekati mobil itu.”

Adi menatapnya sesaat, lalu menghela napas. "Maaf kalau jadi merepotkan. Tapi ya... saya belum bisa mindahin mobilnya ke garasi."

Dewi mencoba menahan amarahnya. Ia tahu, terus mendesak hanya akan membuat keadaan semakin sulit. Setelah mengucapkan terima kasih dan meminta Adi untuk mempertimbangkan lagi, Dewi pun pulang dengan perasaan tidak puas.

-----

Beberapa hari kemudian, Dewi tidak bisa berhenti memikirkan alasan Adi. Garasi penuh? Setiap kali dia berjalan melewati rumah Adi, pintu garasi itu selalu tertutup rapat, seolah menyimpan sesuatu yang tak pernah diungkapkan. Semakin lama, rasa penasarannya semakin tumbuh.

Suatu sore, ketika Adi tidak di rumah, Dewi melihat pintu garasi yang sedikit terbuka. Perlahan, dia mendekat. Hatinya berdebar kencang, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat.

Dewi mengintip ke dalam garasi itu. Di sana, tertutup oleh debu dan terpampang jelas di tengah ruangan, ada sebuah mobil tua yang terparkir rapi. Mobil itu tampak sangat berbeda dari mobil-mobil yang biasa Dewi lihat, seolah menyimpan kenangan yang terperangkap di dalamnya.

Kemudian, mata Dewi tertuju pada foto kecil yang terletak di dashboard mobil tua itu. Seorang wanita tersenyum hangat, dengan tatapan penuh kebahagiaan.

-----

Sore itu, Dewi memberanikan diri untuk kembali berbicara dengan Adi. Kali ini, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah parkir yang ingin ia ungkapkan.

Ketika Adi membuka pintu, Dewi langsung memulai percakapan dengan nada lembut. “Mas Adi, maaf sebelumnya, tapi... saya lihat mobil tua di garasi Mas.”

Adi terdiam. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini berubah kaku.

"Itu mobil istri saya," kata Adi perlahan, suaranya berubah berat. "Dia meninggal beberapa tahun lalu, dan... sejak saat itu, saya tidak bisa memindahkan mobil itu. Itu kenangan terakhir saya tentang dia."

Dewi terkejut, tidak menyangka alasan di balik parkir mobil Adi di jalanan jauh lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan. Dia menelan ludah, merasa bersalah atas semua rasa kesalnya selama ini.

"Saya tidak tahu... maaf, Mas. Saya tidak pernah bermaksud untuk mengganggu. Saya hanya... tidak tahu," ucap Dewi, suaranya penuh penyesalan.

Adi mengangguk pelan, matanya masih menatap ke tanah. "Saya juga seharusnya bisa lebih peka. Saya hanya belum bisa melepaskan kenangan ini."

Dewi menatapnya dengan penuh simpati. "Mungkin... kita bisa mencari jalan tengah, Mas. Saya paham ini sangat berarti bagi Mas, tapi mungkin ada cara lain untuk tetap menghormati kenangan istri Mas tanpa harus memarkir mobil di luar."

Adi tersenyum lemah. "Mungkin kamu benar. Mungkin sudah saatnya saya mencoba untuk melangkah maju, meski berat."

Cerita ditutup dengan Dewi yang pulang ke rumahnya dengan hati yang lebih ringan. Hubungannya dengan Adi berubah, bukan lagi sekadar tetangga yang saling menyimpan rasa kesal, melainkan dua orang yang saling memahami dan menghormati rasa kehilangan yang mendalam.

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Catur Cipto Nugroho
EditorCatur Cipto Nugroho
Follow Us