Toxic Positivity, Keyakinan Berpikir Positif yang Tidak Sehat

Apakah harus selalu positif setiap menghadapi masalah?

Toxic positivity adalah bentuk keyakinan yang mengharuskan seseorang memberikan umpan balik positif dalam setiap kejadian yang terjadi dalam hidup, termasuk pada peristiwa tragis sekalipun. Dengan kata lain, toxic positivity mengacu pada obsesi berpikir positif yang cenderung tidak sehat.

Dalam beberapa kasus, toxic positivity dapat terjadi akibat paksaan diri sendiri maupun tekanan dari orang sekitar. Kondisi ini cenderung membuat seseorang mengabaikan emosi negatif, menimbun kesedihan, serta mengharuskan terlihat bahagia padahal kenyataannya sangat tertekan akibat masalah yang dihadapi. Hal tersebut tentu tidak baik karena dapat memengaruhi kesehatan mental secara signifikan.

Menarik untuk disimak, berikut ini fakta menarik seputar toxic positivity dari sudut pandang medis.

1. Toxic positivity cenderung membungkam emosi yang tengah dirasakan seseorang

Toxic Positivity, Keyakinan Berpikir Positif yang Tidak Sehatilustrasi rekan kerja yang meragukan persoalan temannya (freepik.com/wayhomestudio)

Selama beberapa dekade terakhir, berbagai literatur ilmiah telah mengkaji nilai potensial dari kebiasaan berpikir positif yang dapat meningkatkan kesehatan mental. Studi dalam Western Journal of Nursing Research tahun 2018 menunjukkan, tingkat harga diri yang tinggi pada mahasiswa dapat mendukung optimalisasi pemikiran positif serta mengurangi risiko berpikir dan berusaha untuk bunuh diri.

Akan tetapi, terdapat poin yang tidak kalah penting yang terkait dengan toxic positivity, yang mana hal ini cenderung memaksa seseorang untuk berpikir positif dalam menghadapi setiap permasalahan. Individu yang tengah berada dalam kubangan toxic positivity seolah dituntut untuk menghindari pemikiran negatif, termasuk larangan mengekspresikan emosi yang tengah dirasakan.

Penelitian yang berfokus pada kemampuan berpikir positif umumnya memaparkan keyakinan akan sudut pandang yang baik beserta aneka manfaatnya. Sebaliknya, toxic positivity menuntut pelepasan "kepositifan" yang membungkam emosi dan menghalangi untuk mencari dukungan sosial.

2. Contoh-contoh toxic positivity

Toxic Positivity, Keyakinan Berpikir Positif yang Tidak Sehatilustrasi perempuan yang meyakinkan teman prianya untuk berpikir positif (freepik.com/Racool_studio)

Dilansir Medical News Today, berikut merupakan beberapa contoh kasus toxic positivity:

  • Pernyataan yang ditujukan kepada orang tua yang sedang berkabung karena anaknya meninggal untuk tidak berlarut-larut pada kesedihan karena suatu saat bisa memiliki anak lagi
  • Pernyataan untuk korban bencana yang menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan
  • Mendesak seseorang untuk fokus pada aspek positif sekalipun di tengah situasi kehilangan yang sangat menghancurkan perasaan
  • Mendesak seseorang untuk melupakan kesedihan atau penderitaan yang sedang dirasakan dan menyarankan untuk fokus pada hal-hal baik di dalam hidup
  • Mendesak seseorang untuk tidak memedulikan persoalan hidup yang sedang dihadapi
  • Menepis kekhawatiran terhadap pernyataan, "hal ini atau hal itu bisa lebih buruk di kemudian hari"

Baca Juga: 7 Aktivitas Positif Ini Bantu Cegah Depresi saat Pandemi COVID-19

3. Toxic positivity sangat berisiko dan berbahaya khususnya terhadap kesehatan mental

Toxic Positivity, Keyakinan Berpikir Positif yang Tidak Sehatilustrasi pria meremas tangan karena merasa tidak nyaman (freepik.com/pressfoto)

Beberapa potensi risiko bahaya toxic positivity ialah:

  • Mengabaikan bahaya. Tinjauan ilmiah dalam International Journal of Wellbeing tahun 2020 berfokus pada 29 studi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menemukan, bias positif dapat menyebabkan korban KDRT meremehkan tingkat keparahan dan tetap berada dalam hubungan yang penuh kekerasan.

  • Menambah beban kesedihan. Seseorang yang berulang kali mendengar ucapan orang lain untuk move on dari kesedihan mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli terhadap perasaan yang tengah menimpanya.

  • Merasa terisolasi dan dihujani stigma. Seseorang yang merasakan tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja dalam menghadapi kesulitan cenderung tidak mencari dukungan secara emosional. Individu ini mungkin merasa terisolasi hingga menghantarkannya pada stigma dari lingkungan sekitar.

  • Mengalami permasalahan komunikasi. Toxic positivity mendorong seseorang untuk mengabaikan tantangan dalam suatu hubungan dan cenderung mengedepankan hal-hal positif dalam setiap kejadian. Pendekatan ini lambat laun justru dapat menimbulkan masalah yang memengaruhi cara komunikasi serta kemampuan dalam memecahkan masalah.

  • Menimbulkan persepsi terkait harga diri rendah. Dilansir Nea Today, ketika seseorang tidak dapat merasakan vibe yang positif, individu tersebut dapat merasakan perasaan kegagalan.

4. Tidak ada salahnya menerima emosi negatif

Toxic Positivity, Keyakinan Berpikir Positif yang Tidak Sehatilustrasi seorang pria yang sedang diliputi masalah (freepik.com/pressfoto)

Manusia merasakan berbagai emosi, yang masing-masing merupakan bagian penting terhadap pencapaian kesejahteraan batin. Misalnya, kecemasan dapat mengingatkan seseorang pada situasi berbahaya, kemarahan merupakan respons normal terhadap ketidakadilan, serta kesedihan sering dikonotasikan dengan intensitas kehilangan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berbagai emosi (termasuk emosi negatif) dapat membantu otak memproses perasaan untuk menjadi lebih baik. Studi dalam jurnal Psychological Science tahun 2007 menemukan, dengan memberi label dan memahami suatu emosi dapat membantu mengurangi kekuatan jalur otak tertentu terkait dengan emosi tersebut.

5. Menghindari toxic positivity

Toxic Positivity, Keyakinan Berpikir Positif yang Tidak Sehatilustrasi sesi diskusi dengan ahli kesehatan mental (freepik.com/freepik)

Beberapa strategi untuk menghindari toxic positivity karena paksaan dari diri sendiri, meliputi:

  • Berusaha memahami emosi negatif sebagai hal yang normal
  • Berusaha memahami bahwa emosi negatif merupakan bagian penting dari pengalaman hidup manusia
  • Berusaha mengidentifikasi emosi daripada bersikeras menampiknya
  • Mencoba sharing pengalaman dengan orang yang dapat dipercaya tentang emosi, termasuk perasaan negatif
  • Mencoba mencari dukungan secara emosional dari orang-orang yang berpikiran terbuka, seperti ahli kesehatan mental atau sahabat

Sementara strategi menghindari pemaksaan toxic positivity dari orang lain, meliputi:

  • Mendorong pembicaraan terbuka dengan orang lain mengenai emosi yang sedang dirasakan
  • Menghindari memberikan respons positif terhadap perkataan orang lain
  • Menyadari bahwa emosi negatif yang intens sering kali bertepatan dengan emosi positif, seperti pada kasus ketika seseorang merasakan kesedihan yang mendalam menandakan adanya cinta yang kuat

Toxic positivity mendorong individu untuk mengabaikan emosi yang sebenarnya sedang dirasakan (sering kali pada emosi negatif). Meskipun berpikir positif mendatangkan beberapa manfaat, hal ini bukan berarti manusia harus senantiasa berpikir positif sepanjang waktu. Begitu juga ketika orang lain memaksa seseorang untuk mengekspresikan emosi positif yang justru dapat menghambat pola komunikasi dan memperburuk pikiran negatif.

Intinya tidak apa-apa kalau kamu merasa sedang tidak baik-baik saja. Seiring waktu, emosi negatif tersebut akan menghantarkanmu pada proses pendewasaan tanpa melukai batin terdalam.

Baca Juga: Sering Diremehkan, Meditasi Punya 7 Dampak Positif Ini untuk Hidupmu

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya