Kenapa Perut Sakit Setelah Makan Pedas? Ini Penyebabnya

- Makanan pedas bisa menyebabkan nyeri perut, mual, dan iritasi lambung karena kandungan capsaicin yang mengiritasi saluran pencernaan.
- Konsumsi makanan pedas berlebihan dapat memperparah gejala dispepsia, IBS, dan meningkatkan risiko tukak lambung serta gangguan pencernaan lainnya.
- Cara meredakan sakit perut setelah makan pedas antara lain menjaga pola makan, konsumsi susu, dan konsultasi dokter untuk diagnosis yang tepat.
Artikel ini telah ditinjau secara medis oleh Dr. dr. Kaka Renaldi, Sp. PD-KGEH
Makanan pedas sering jadi favorit banyak orang. Selain bisa bikin nafsu makan meningkat, sensasi pedas juga bisa membuat ketagihan. Sayangnya, tidak semua orang bisa menikmati makanan pedas tanpa efek samping. Beberapa orang justru merasakan nyeri di perut, mual, atau bahkan sakit lambung tak lama setelah makan.
Kenapa perut sakit setelah makan pedas? Rasa tidak nyaman ini bisa disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap senyawa capsaicin dalam cabai. Nah, untuk tahu lebih lanjut penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya, simak penjelasannya berikut ini.
Kenapa perut sakit setelah makan pedas?
Makanan pedas memang menggugah selera, tapi bagi sebagian orang, makanan ini bisa memicu rasa tidak nyaman di perut. Meski cabai dan makanan pedas tidak secara langsung menyebabkan luka lambung (tukak lambung), kandungan capsaicin di dalamnya bisa mengiritasi saluran pencernaan.
Capsaicin sendiri merupakan senyawa aktif dalam cabai yang memberikan sensasi panas. Saat mengonsumsi makanan pedas, capsaicin akan menempel pada reseptor rasa sakit di mulut, tenggorokan, hingga saluran cerna. Otak pun “tertipu” seolah tubuh sedang terbakar sehingga memicu reaksi seperti berkeringat, pilek, mata berair, bahkan mual atau diare. Dalam dosis besar, reaksi tubuh terhadap capsaicin bisa lebih parah dan menyakitkan.
Selain itu, bagi orang yang memiliki kondisi seperti dispepsia atau gejala nyeri di ulu hati maupun Irritable Bowel Syndrome (IBS) alias suatu penyakit kronik dengan gejala nyeri perut yang berhubungan dengan pola buang air besar, makanan pedas bisa memperparah gejalanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan pedas lebih dari 10 kali dalam seminggu berkaitan dengan risiko IBS yang lebih tinggi. Gejalanya bisa berupa perut kembung, sakit di bagian atas perut, kram, hingga perubahan frekuensi buang air besar.
Tak hanya itu, konsumsi capsaicin dalam jumlah berlebihan bisa menyebabkan sensasi terbakar di lambung, muntah hebat, hingga nyeri dada dan diare parah. Dalam kasus ekstrem, muntah berulang bisa merusak kerongkongan dan reaksi alergi terhadap capsaicin berpotensi menyebabkan sesak napas, jantung berdebar, hingga komplikasi serius lainnya.
Tips meredakan sakit perut setelah makan pedas

Sakit perut setelah mengonsumsi makanan pedas bisa sangat mengganggu, terutama jika kamu punya lambung sensitif. Untungnya, ada beberapa cara yang bisa kamu coba untuk meredakan rasa tidak nyaman tersebut. Berikut beberapa pilihan yang bisa kamu terapkan:
Menjaga pola makan
Jika makanan pedas sering menyebabkan nyeri perut, baiknya kurangi konsumsinya. Selain itu, hindari konsumsi makanan dalam porsi besar sekaligus karena bisa meningkatkan tekanan lambung. Apalagi jika hal itu kamu barengi dengan mengonsumsi makanan pedas.
Tak cuma itu, makanan dengan kandungan lemak tinggi seperti gorengan juga bisa memperburuk gejalanya. Pasalnya, sebab lemak dapat memperlambat pengosongan lambung. Terlepas dari itu, setelah makan, cobalah tunggu 2—3 jam jika ingin boleh berbaring atau tidur. Hal itu perlu dilakukan agar asam lambung tidak naik ke kerongkongan.
Konsumsi susu
Susu mungkin bisa membantu menetralkan asam lambung dan mendinginkan saluran pencernaan. Ini karena kandungan protein casein pada susu bisa berikatan dengan capsaicin di dalam cabai. Meskipun begitu, efeknya ke setiap individu bisa bervariasi.
Konsultasi dokter
Jika gejala terus berulang atau menetap, sebaiknya konsultasi ke dokter. Meskipun makanan pedas bisa menjadi pemicu, bisa jadi ada penyakit lambung penyerta yang perlu diobati. Sebagai contoh, ada bakteri bernama Helicobacter pylori yang bisa menyebabkan peradangan lambung. Jika tidak ditangani, bakteri tersebut bisa menyebabkan kanker lambung.
Contoh lainnya, Gastroesphageal Reflux Disease (GERD), suatu penyakit di mana asam lambung sering naik ke kerongkongan dan menyebabkan gejala seperti rasa panas di dada dan refluks. Selain itu, bisa terjadi penyakit ulkus peptik atau adanya tukak (luka) di lambung. Penyakit-penyakit tersebut butuh diobati dan dipantau oleh dokter.
Nah, selain penyakit lambung, nyeri perut setelah makan juga bisa disebabkan oleh gangguan di saluran empedu, pankreas, dan usus. Terkadang penyakit jantung juga bisa menyebabkan gejala seperti nyeri ulu hati. Oleh karena itu, penting untuk konsultasi ke dokter agar memperoleh diagnosis yang tepat.
Jadi, kenapa perut sakit setelah makan pedas? Jawabannya bisa berasal dari banyak faktor, mulai dari iritasi hingga gangguan pencernaan. Dengan tahu penyebabnya, kamu bisa tetap menikmati makanan pedas tanpa perlu khawatir sakit perut setelahnya.
FAQ seputar kenapa perut sakit setelah makan pedas
Kenapa perut terasa sakit setelah makan pedas?
Karena kandungan capsaicin pada cabai bisa mengiritasi dinding lambung.
Apakah makan pedas bisa memicu asam lambung?
Ya, makanan pedas dapat meningkatkan produksi asam lambung.
Apakah semua orang pasti sakit perut setelah makan pedas?
Tidak, sensitivitas perut setiap orang berbeda-beda.
Bagaimana cara mengurangi sakit perut setelah makan pedas?
Minum susu, konsumsi makanan netral, atau hindari makanan pedas sementara waktu.
Referensi:
“Can eating spicy foods harm your health?” Ohio State Health & Discovery. Diakses Agustus 2025.
“The Health Risks of Eating Extremely Spicy Foods”. Cleveland Clinic. Diakses Agustus 2025.
“What Helps Settle Your Stomach After Eating Spicy Food? Home Remedies for Relief”. Healthwire. Diakses Agustus 2025.
Lee, S.‐y., dkk. “A Prospective Study on Symptom Generation According to Spicy Food Intake and TRPV1 Genotypes in Functional Dyspepsia Patients.” Neurogastroenterology & Motility 28, no. 9 (April 19, 2016): 1401–8.