Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Viral Tren ‘What’s My Curse’, Psikolog Bongkar Potensi Bahayanya

ilustrasi AI chatbot (unsplash.com/Solen Feyissa)
ilustrasi AI chatbot (unsplash.com/Solen Feyissa)
Intinya sih...
  • Tren What's My Curse sejatinya bersifat netral, bisa berdampak baik maupun buruk tergantung pada bagaimana kamu menyikapinya.
  • Jika ditanggapi terlalu serius tanpa pemahaman yang mendalam, tren ini bisa menjerumuskan kamu ke dalam jebakan self-fulfilling prophecy.
  • Chatbot bisa dimanfaatkan sebagai pertolongan pertama, tetapi tidak bisa menggantikan peran terapis.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Media sosial, khususnya TikTok dan Instagram, sempat dibanjiri konten "What's My Curse". Melalui interaksi singkat dengan chatbot, warganet membagikan hasil “kutukan” yang menggambarkan sisi gelap dalam diri mereka. Jawaban dari chatbot juga beragam, mulai dari pola pikir negatif, luka emosional tersembunyi, hingga kebiasaan destruktif.

Sekilas, tren ini tampak seperti ajang refleksi diri yang tidak berbahaya. Namun, bagaimana fenomena ini dilihat dari sudut pandang psikologi? Baik atau berpotensi buruk, ya?

Jennyfer, M.Psi., Psikolog yang juga merupakan Founder Fathom Psychology Center, menyebut bahwa kamu harus lebih hati-hati dalam menyikapi sebuah tren. Hal ini berpotensi memengaruhi cara kamu melihat diri sendiri jika tidak ditanggapi dengan bijak.

Antara refleksi diri dan risiko self-fulfilling prophecy

Menurut Jennyfer, tren What's My Curse sejatinya bersifat netral, bisa berdampak baik maupun buruk tergantung pada bagaimana kamu menyikapinya.

"Jika hanya untuk hiburan, tidak masalah sebenarnya. Apalagi banyak yang mengklaim bahwa cukup akurat dan betul bisa jadi refleksi diri. 'Apakah benar kita seperti itu?', Jika iya, bagaimana menghadapinya, sehingga bisa lebih self-improve,” jelasnya saat dihubungi IDN Times pada Kamis (31/7/2025).

Meskipun kata “curse” terdengar nyeleneh, tetapi ia menganggap istilah tersebut sengaja dibuat catchy agar menarik perhatian.

Ia juga menggarisbawahi potensi dampak negatif yang tidak boleh diabaikan. Jika ditanggapi terlalu serius tanpa pemahaman yang mendalam, tren ini bisa menjerumuskan seseorang ke dalam jebakan self-fulfilling prophecy. Ini merupakan kondisi ketika keyakinan (yang belum tentu benar) justru menciptakan perilaku yang membuatnya menjadi kenyataan.

Misalnya, jika seseorang percaya bahwa "kutukannya" adalah selalu gagal dalam hubungan, ia bisa mulai menghindari keterikatan emosional dan merasa tidak layak dicintai. Mereka akan tanpa sadar menutup peluang yang sebenarnya bisa membawa kebahagiaan.

"Jika keyakinan positif membentuk perilaku positif sih tidak apa-apa. Tapi bagaimana jika keyakinan yang belum tentu benar? Kita jadi bisa labeling diri sendiri pada suatu ketidakpastian. Lama-kelamaan, khawatirnya self-esteem pun menurun," jelasnya.

Chatbot tidak bisa menggantikan terapi

ilustrasi terapi (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi terapi (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya chatbot seperti ChatGPT, banyak fenomena orang-orang menjadikan chatbot sebagai teman untuk bercerita. Menurut Jennyfer, ini memang bisa membantu banyak orang dalam mengelola pikiran dan emosi, terutama di saat-saat sunyi seperti malam hari ketika overthinking kerap muncul.

"Chatbot bisa sebagai 'first aid', tetapi bukan therapist. Ketika tidak ada teman bercerita, kita jadi berkutat pada pikiran yang mungkin bisa mengacu ke pikiran intrusif. Jadi, cerita ke chatbot bisa jadi 'pertolongan pertama' biar pikiran kita sedikit lebih terarah," ungkapnya

Walaupun banyak orang memanfaatkan prompt seperti “act as therapist” agar respons terasa lebih profesional, tetapi Jennyfer mengingatkan bahwa chatbot merespons berdasarkan data literal, bukan pemahaman emosional.

"Bahkan coba tanya ke chatbot, 'Apakah kamu bisa menjadi psikologku? Apakah kamu bisa memberikan diagnosis?' Chatbot saja mengakui bahwa dia tidak bisa,” tegasnya.

Bukan cuma sekadar validasi, proses terapi dengan psikolog melibatkan hubungan manusia yang otentik, termasuk tantangan emosional dan intelektual.

"Jadi tetap aku sarankan buat ke psikolog/psikiater untuk assessment psikologis ya. Koneksi sesama manusia itu penting. Koneksi perasaan itu penting. Terlebih psikolog bukan cuman buat validasi, tapi challenge kamu buat berpikir lebih mendalam walau mungkin tidak selalu nyaman dalam prosesnya," tutupnya.

Tren What's My Curse menjadi cerminan akan kebutuhan manusia untuk memahami diri dan didengar. Namun, penting untuk tetap bijak dalam menanggapinya. Refleksi diri boleh, tetapi jangan sampai kehilangan arah atau menggantungkan makna hidup pada sistem yang tak benar-benar mengenal kita.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us