Depresi Eksistensial, Apakah Ini Kondisi Mental yang Nyata?

Bukan diagnosis klinis, tetapi bukan berarti tidak nyata

Intinya Sih...

  • Depresi eksistensial bukan diagnosis klinis, tetapi tetap nyata dan dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari.
  • Gejala depresi eksistensial mirip dengan jenis depresi lainnya, tetapi tidak diakui secara klinis sehingga mungkin didiagnosis sebagai gangguan depresi mayor.
  • Pertanyaan eksistensial tentang kematian, kesia-siaan, isolasi, dan kebebasan dapat memicu depresi eksistensial.

Sudah sifat alami manusia untuk mempertanyakan banyak hal serta merasa tidak puas dengan ketidaktahuan dan ketidakpastian.

Pada titik tertentu dalam hidup, mungkin kamu pernah mempertanyakan hal-hal seperti: "Kenapa banyak orang menderita?", "Bagaimana jika aku tidak pernah menemukan cinta dan kebahagiaan?"

Saat berjuang untuk menemukan makna dalam rasa sakit, kesusahan, dan ketidakadilan, kamu mungkin mengalami kekhawatiran, bahkan ketakutan. Perasaan ini umumnya dikenal sebagai ketakutan eksistensial.

Pada waktunya, kamu mungkin menyadari akan ketidakmungkinan dalam mencari jawaban yang kamu cari dan mengalibrasi ulang konsep diri terhadap kesadaran baru tentang eksistensi kamu. Akan tetapi, kecemasan eksistensial juga bisa membuat kamu merasa putus asa akan dunia dan masa depan.

Tanpa jawaban, tanpa rasa yakin akan makna atau kendali atas nasib kamu, kamu mungkin mulai merasa putus asa, tidak termotivasi, dan mempertanyakan hal-hal yang sama berulang-ulang. Kalau ini terjadi padamu, kemungkinan ini adalah depresi eksistensial.

1. Apa itu depresi eksistensial?

Depresi eksistensial bukanlah diagnosis formal yang tidak termasuk sebagai kondisi atau penentu dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), buku pegangan referensi yang digunakan banyak profesional kesehatan mental untuk membuat diagnosis. Namun, bukan berarti kondisi ini tidak nyata.

Seseorang dengan depresi eksistensial mungkin merasa tertekan karena berbagai alasan, dan gejalanya bisa serupa dengan jenis depresi lainnya. Namun, karena depresi eksistensial bukan diagnosis yang diakui secara klinis, dokter kemungkinan besar akan mendiagnosisnya dengan gangguan depresi mayor.

Semua jenis depresi memiliki pemicu yang dapat diungkap dengan pemeriksaan lebih lanjut. Depresi eksistensial dapat berkembang ketika kamu sering merenungkan kehidupan dan merenungkan hal-hal yang menyebabkan rasa putus asa atau ketidakbahagiaan mendalam.

Ketika kamu mempertimbangkan pertanyaan tentang kehidupan dan keberadaan yang tidak memiliki jawaban, kamu mungkin kesulitan menemukan maknanya.

Menurut studi, mencari alasan dalam ketidakadilan, rasa sakit, dan ketidakbahagiaan, yang mana jawaban-jawaban tersebut tidak akan didapat, maka dapat menyebabkan krisis eksistensial (International Journal of Psychology: Biopsychosocial Approach, 2016).

Pertanyaan eksistensial berfokus pada empat topik utama (Journal of Humanistic Psychology, 2016):

  • Kematian: Kamu mungkin mempertimbangkan kematian yang tak terhindarkan dan apa yang terjadi setelah kematian.
  • Kesia-siaan: Kamu mungkin bertanya-tanya apa tujuan hidup.
  • Isolasi: Perasaan terisolasi dapat terjadi akibat kurangnya koneksi dengan orang lain dan terputusnya hubungan penting.
  • Kebebasan: Kamu mungkin merenungkan banyaknya pilihan dan konsekuensi dalam hidup.

Depresi eksistensial juga dapat mencakup seseorang yang berfokus pada pertanyaan seperti, "Kenapa aku?" Kamu mungkin mempertanyakan keberadaan diri setelah mengalami trauma, penyakit serius, atau peristiwa lain yang mengubah hidup.

Pada waktunya, apabila kamu tidak berhasil menerima kenyataan bahwa beberapa dari pertanyaannya tidak bisa dijawab, kamu mungkin akan terus merasa putus asa.

Ketidakmampuan untuk berhenti merenungkan pertanyaan yang sama dapat mengakibatkan depresi eksistensial yang berkelanjutan.

Depresi eksistensial mungkin melibatkan disintegrasi diri (Frontiers in Psychology, 2019). Ini dapat terjadi setelah:

  • Kehilangan kontak dengan tujuan hidup dan nilai-nilai yang sebelumnya penting.
  • Merasa bersalah dan terpaku pada pilihan dan kesalahan masa lalu.
  • Perasaan terpisah (detachment) dan tidak berdaya.
  • Kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
  • Melepaskan diri dari orang yang dicintai dan mengalami keretakan dalam hubungan.
  • Kehilangan rasa diri.

2. Seberapa umum depresi eksistensial?

Depresi Eksistensial, Apakah Ini Kondisi Mental yang Nyata?ilustrasi depresi eksistensial (pexels.com/Alex Green)

Pada dasarnya setiap orang mengalami tingkat depresi eksistensial pada beberapa titik dalam hidupnya, dan sangat umum untuk mengalami saat melewati tantangan proses pendewasaan.

Pertanyaan umum yang mungkin ditanyakan pada diri sendiri yang dapat memicu perasaan depresi eksistensial:

  • Apa arti kehidupan?
  • Mengapa ada banyak orang yang hidupnya menderita?
  • Mengapa seseorang harus mati?
  • Bisakah saya membuat dampak di dunia?
  • Mengapa orang jahat tidak dihukum?
  • Mengapa orang baik mengalami rasa sakit?

Menurut analisis tentang menemukan makna dalam hidup, hanya sekitar 25 persen orang dewasa Amerika Serikat yang mengatakan bahwa mereka memiliki tujuan hidup yang kuat. Sekitar 40 persen mengatakan mereka tidak memiliki tujuan hidup yang kuat atau umumnya merasa tidak peduli, dilansir The New York Times.

Baca Juga: [QUIZ] Dari Kuis Ini, Kami Tahu Penyebab Depresi yang Kamu Alami

3. Gejala

Dirangkum dari laman Healthline, depresi eksistensial biasanya melibatkan beberapa hal berikut:

  • Fiksasi pada makna hidup yang lebih dalam atau menemukan tujuan hidup.
  • Kesedihan dan keputusasaan terkait ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan eksistensial.
  • Merasa putus asa tentang nasib masyarakat atau dunia pada umumnya.
  • Sering memikirkan kematian, sekarat, atau bunuh diri.
  • Ketakutan akan kematian.
  • Rasa kesia-siaan atau ketidakberdayaan sehubungan dengan menciptakan makna atau perubahan dalam hidup.
  • Kesadaran bahwa dunia ini tidak adil.
  • Menginginkan lebih dari kehidupan daripada rutinitas sehari-hari yang tampak biasa dan tidak penting.
  • Pemutusan atau keterpisahan dalam hubungan pribadi, sering kali karena kamu yakin hubungan itu pada akhirnya akan berakhir.
  • Kehilangan minat pada aktivitas dan hobi yang biasanya kamu nikmati, sering kali karena hal-hal tersebut tampak tidak berguna.
  • Keyakinan bahwa apa pun yang kamu lakukan tidak akan membuat perbedaan, sehingga kamu bertanya-tanya mengapa kamu harus bersusah payah.
  • Sulit berinteraksi dengan orang-orang yang tampaknya tidak peduli tentang konsep eksistensial.
  • Kehilangan motivasi atau kesulitan membuat pilihan, sering kali karena merasa terbebani oleh berbagai kemungkinan.

Merasa terjebak dalam pencarian makna yang lebih dalam, tidak mampu bergerak maju dari titik krisis, dapat memicu disintegrasi diri. Kamu mungkin akhirnya terpaku pada pilihan atau kesalahan masa lalu dan merasa bersalah atas ketidakmampuan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain.

Depresi eksistensial juga dapat menyebabkan kamu kehilangan kontak dengan nilai-nilai pribadi dan tujuan hidup, dan mungkin menyadari perasaan diri mulai kabur dan kehilangan definisi.

Gabungan rasa bersalah, rasa tidak berdaya, dan tidak mampu terlibat dalam perasaan diri sendiri dan orang lain dapat menyebabkan kesulitan mempertahankan hubungan atau melakukan hal-hal yang pernah kamu sukai, yang dapat menyebabkan perasaan terasing dan tidak berarti.

4. Siapa yang berisiko mengalami depresi eksistensial?

Depresi Eksistensial, Apakah Ini Kondisi Mental yang Nyata?ilustrasi stres menghadapi beban kerja (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Beberapa orang mungkin lebih mungkin mengalami depresi eksistensial dibandingkan orang lain. Misalnya, orang-orang dengan tingkat ekspektasi yang lebih tinggi (seperti ekspektasi yang tidak realistis atau tujuan yang sulit dicapai) mungkin lebih sering menderita depresi eksistensial daripada yang lain (Frontiers in Psychology, 2017).

Selain itu, ada indikasi bahwa orang dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi lebih mungkin menghadapi ketakutan dan depresi eksistensial (Intelligence, 2018).

Ada juga beberapa pengalaman hidup yang berpotensi memicu depresi eksistensial, antara lain:

  • Peristiwa hidup yang penuh tekanan: Situasi yang menyebabkan pergolakan besar dapat sangat memengaruhi hidup. Sebagai contoh, pasien kanker mungkin mempertanyakan arti hidup ketika menyadari bahwa kematian adalah kemungkinan yang sangat nyata (Omega, 2010).
  • Kepuasan kerja yang buruk: Ada hubungan antara kepuasan kerja dan kesehatan mental (Behavioral Sciences, 2022). Kalau kamu tidak puas dengan pekerjaan, kamu mungkin memiliki kesehatan mental yang lebih buruk. Kamu mungkin juga mulai bertanya-tanya apa tujuan atau maksud dari pekerjaan kamu.
  • Kurangnya hubungan yang bermakna: Menurut American Psychological Association, ada hubungan yang kuat antara hubungan sosial yang sehat dan aspek kesehatan dan kebugaran.

5. Dampak dari depresi eksistensial

Depresi eksistensial dapat membuat kamu kehilangan pengalaman hidup yang berarti atau tidak menikmati hidup. Misalnya, kamu mungkin menarik diri dari beberapa hubungan yang bermakna dalam hidup.

Punya tujuan hidup dapat membantu meningkatkan tingkat kepuasan hidup. Ini berarti suasana hati yang lebih baik dan lebih konsisten, pandangan positif, dan kepuasan.

Orang cenerung hidup lebih lama ketika mereka memiliki tingkat “kesejahteraan eudemonik” yang tinggi—yang digambarkan sebagai perasaan bahagia yang berasal dari perasaan bahwa hidup seseorang memiliki tujuan yang berarti (The Lancet, 2015).

Penelitian lainnya juga mencatat bahwa orang yang menemukan makna dalam hidup mengalami lebih sedikit masalah kesehatan fisik, termasuk stroke, serangan jantung, kurang tidur, demensia, dan disabilitas fisik (Population Health Management, 2018).

6. Cara mengatasi depresi eksistensial

Depresi Eksistensial, Apakah Ini Kondisi Mental yang Nyata?ilustrasi terapi dengan psikolog (pexels.com/SHVETS production)

Perawatan depresi biasanya melibatkan kombinasi dari obat antidepresan dan psikoterapi.

Antidepresan bekerja dengan memperbaiki cara otak menggunakan bahan kimia tertentu yang mengendalikan suasana hati atau stres.

Psikoterapi yang dapat menjadi bagian dari pengobatan depresi bisa meliputi terapi perilaku kognitif, terapi interpersonal, dan terapi pemecahan masalah.

Dilansir PsychCentral, bentuk terapi humanistik biasanya efektif dalam kasus depresi atau krisis eksistensial. Contoh jenis terapi ini adalah psikoanalisis, terapi naratif, terapi peninjauan hidup, terapi transpersonal, dan terapi yang berpusat pada klien.

Terapi humanistik menekankan pentingnya jujur pada diri sendiri untuk menjalani hidup yang paling memuaskan.

Terapi eksistensial, bagian dari pendekatan humanis, dapat membantu mengobati depresi eksistensial dengan memberi arahan, tujuan, dan alat khusus untuk bekerja.

Alih-alih mengobati gejala, seperti kecemasan, terapi eksistensial didasarkan pada anggapan bahwa terapis memandang klien dengan pandangan holistik.

Psikiater eksistensial terkenal, Irvin Yalom, mengidentifikasi empat masalah utama seputar eksistensialisme, yaitu kematian, kesia-siaan, isolasi, serta kebebasan atau tanggung jawab untuk membuat pilihan terbaik.

Nah, terapi eksistensial bertujuan untuk membantu mengatasi krisis spesifik ini.

Ketika depresi eksistensial terkait dengan proses penuaan, pendekatan lain mungkin bisa membantu. Praktik kesadaran penuaan secara sadar, yang merupakan cabang dari model tahun 1987 yang disebut success aging, adalah salah satunya.

Itu adalah cara yang penuh perhatian untuk belajar bagaimana menerima penuaan dan perubahan, serta menjadi sadar diri akan kehidupan dan maknanya.

Dalam kasus ketika pengobatan atau terapi tidak membantu, ahli kesehatan mental mungkin menyarankan terapi stimulasi otak, seperti terapi elektrokonvulsif.

7. Cara merawat diri

Perawatan diri merupakan pendekatan penting dalam setiap kasus. Artinya, kamu bisa mengidentifikasi aktivitas dan latihan yang paling berhasil buat kamu. Beberapa mencakup:

  • Rutin berolahraga.
  • Menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang bisa kamu ukur.
  • Kelilingi diri dengan orang-orang yang kamu percaya dan berbagi perasaan kamu dengan mereka.
  • Menerima dan meminta bantuan dari orang lain.
  • Memahami bahwa suasana hati mungkin membutuhkan waktu untuk membaik namun ini dapat dikelola.
  • Mengedukasi diri tentang gejala depresi dan pilihan pengobatan.

Depresi eksistensial adalah pengalaman umum. Perasaan ini lebih mungkin muncul saat kamu melewati tahun-tahun pembentukan diri dan mulai mengajukan pertanyaan yang lebih dalam tentang dunia. Namun, pada dasarnya depresi eksistensial bisa terjadi kapan saja.

Apabila kamu merasa sedang berjuang untuk menemukan tujuan dan makna dan merasa kesulitan, akan membantu untuk berbicara dengan orang-orang yang kamu percaya atau terapis yang bisa membimbing kamu.

Baca Juga: 7 Peran Rutin Olahraga dalam Melawan Depresi

Topik:

  • Nurulia R F
  • Bayu Nur Seto
  • Delvia Y Oktaviani

Berita Terkini Lainnya