19 Ribu Narapidana Akan Dapat Amnesti, DPR Minta Pemerintah Hati-hati

- Anggota DPR meminta pemerintah hati-hati dalam memberikan amnesti kepada 19 ribu narapidana.
- Hanya 19.337 narapidana yang memenuhi syarat dari total 44.589 yang diajukan untuk mendapatkan amnesti.
- Pemberian amnesti harus mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku dan tidak tumpang tindih dengan undang-undang baru.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB Mafirion meminta pemerintah lebih hati-hati terkait pemberian amnesti kepada 19 ribu narapidana. Dia mengingatkan agar pemberian amnesti tersebut tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.
Mulanya, sebanyak 44.589 narapidana diusulkan untuk mendapatkan amnesti, namun setelah melalui proses verifikasi dan assessment, hanya 19.337 narapidana yang memenuhi syarat.
Adapun, pemberian amnesti ini dimaksudkan untuk mengembalikan para narapidana ke tengah masyarakat dan menghapuskan pidana yang telah mereka lakukan.
Hal tersebut disampaikan Mafirion dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (17/2/2025).
“Pemberian amnesti kepada narapidana harus dilakukan dengan konsep rehabilitatif, namun juga perlu memperhatikan Undang-Undang apa saja yang menjerat para narapidana hingga masuk penjara,” ujar dia.
1. Pemberian amnesti harus transparan

Mafirion menegaskan, pemberian amnesti harus didasarkan pada instrumen yang akurat untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, serta keseimbangan antara kepentingan hukum, hak korban, dan aspek kemanusiaan.
Ia juga mengingatkan agar pemberian amnesti tidak tumpang tindih dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026.
“Misalnya, pemberian amnesti kepada narapidana kasus makar jangan sampai berbenturan dengan KUHAP baru. Harus direview kembali apakah KUHAP itu ada pasal makar atau tidak, dan apakah hal ini akan menimbulkan permasalahan baru,” tutur Mafirion.
2. Menkum diminta telaah lagi UU ITE

Selain itu, Mafirion meminta agar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan telaah ulang terhadap beberapa undang-undang terkait, seperti UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU ITE.
Ia mencontohkan, dalam UU Narkotika, pemakai narkotika dengan jumlah maksimal 1 gram seharusnya direhabilitasi secara medis dan sosial, bukan dijadikan narapidana.
“Begitu juga dengan UU ITE. Jika dalam usulan pemberian amnesti terdapat narapidana yang dijerat karena menghina presiden atau wakil presiden, perlu dipastikan bahwa ke depan tidak ada lagi undang-undang yang mengatur hal serupa. Jangan sampai hal ini terulang dan membuat lapas kembali over kapasitas,” kata dia.
3. Jangan sampai aturannya tumpang tindih

Mafirion mendesak agar Kemenkumham mengkaji ulang aturan dan perundang-undangan sebelum pemberian amnesti dilaksanakan.
Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih aturan dan memastikan bahwa pemberian amnesti tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
“Kami mendukung upaya pemerintah dalam memberikan amnesti sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, hal ini harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan atau pelanggaran hukum di masa depan,” tutur dia.