Adu Argumen DPR Vs Koalisi Sipil Soal Penyadapan di KUHAP Baru

- Pasal 136 KUHAP baru mengatur penyadapan secara rinci, tetapi mekanisme penyadapan tidak dijelaskan dengan jelas.
- Koalisi Masyarakat Sipil menilai pasal terkait penyadapan rentan disalahgunakan dan melegalkan penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa batasan.
- Koalisi sipil menyayangkan tuduhan hoaks dan stigma yang dilempar oleh DPR terkait pembahasan RUU KUHAP, serta menegaskan poster mereka bukan hoaks.
Jakarta, IDN Times - Meski menuai protes dari banyak pihak sejak lama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Selasa, 18 November 2025. Tak ada satu pun fraksi di parlemen yang menolak pengesahan RUU KUHAP menjadi undang-undang.
Namun, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman masih resah lantaran beredar luas sejumlah narasi mengenai KUHAP baru yang disahkan. Salah satunya, warga sipil dapat dijerat hukum secara semena-mena begitu aturan tersebut resmi diberlakukan pada 2 Januari 2026.
Salah satu yang banyak menjadi perdebatan soal KUHAP baru membolehkan penyidik kepolisian melakukan penyadapan komunikasi tanpa dibutuhkan izin dari pengadilan. Polikus Partai Gerindra itu tegas menyebut narasi tersebut hoaks.
"Kami perlu klarifikasi bahwa menurut pasal 136 ayat 2 KUHAP yang baru, hal ikhwal penyadapan tidak diatur sama sekali di dalam KUHAP. Tetapi, akan kami atur di undang-undang tersendiri yang membahas mengenai penyadapan," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa kemarin, dikutip dari YouTube.
Ia menambahkan, berdasarkan pembicarannya dengan fraksi lain di parlemen, aktivitas penyadapan harus dilakukan secara berhati-hati dan tetap membutuhkan izin dari ketua pengadilan.
"Sehingga, ada semacam poster di media sosial, itu isinya tidak benar ya," ujarnya.
Lalu, apa kata koalisi masyarakat sipil mengenai dalih dari parlemen soal aktivitas penyadapan?
1. Isi pasal 136 KUHAP mengenai penyadapan

Sebelum membaca isi ketentuan di dalam pasal 136, publik perlu tahu makna dari aktivitas penyadapan yang tertuang di dalam KUHAP baru. Publik bisa menemukan makna penyadapan di pasal 1 ayat (36) yang berisi "penyadapan adalah kegiatan untuk memperoleh informasi pribadi yang dilakukan secara rahasia dalam penegakan hukum dengan cara mendengarkan, merekam, membelokkan, menghambat, mengubah, menyambungkan, memasang alat pada jaringan, memasang alat perekam secara tersembunyi, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan menggunakan jaringan kabel komunikasi, jaringan nirkabel, atau melalui jaringan sistem informasi elektronik internet, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi."
Sedangkan, soal mekanisme penyadapan tidak tertulis di dalam KUHAP baru. Berikut isi pasal 136 ayat 1 "penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan." Sedangkan ayat 2 tertulis "ketentuan mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang mengenai penyadapan."
Ketika KUHAP baru disahkan, undang-undang yang mengatur penyadapan belum juga digodok.
2. Pasal terkait penyadapan rentan disalahgunakan

Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP tak membantah di dalam KUHAP baru tertulis pengaturan mengenai penyadapan akan diatur lebih lanjut di dalam undang-undang terpisah. Tetapi, di dalam pasal 136 KUHAP baru ditekankan untuk kepentingan penyidikan maka penyidik kepolisian dapat melakukan penyadapan.
"Tidak ada batasan jenis tindak pidana, tidak ada safeguard yang diberlakukan. Selain itu, tidak ada sama sekali pasal yang menjelaskan penyadapan tidak boleh dilakukan sampai diundangkannya UU Penyadapan," demikian isi keterangan tertulis dari koalisi, dikutip pada Jumat (20/11/2025).
Dalam pandangan koalisi, KUHAP baru yang sudah disahkan justru telah melegalkan penyidik untuk melakukan penyadapan untuk semua tindak pidana. Maka, ketakutan penyadapan dapat dilakukan tanpa ada batasan sama sekali tetap menjadi valid.
"Tentu kita tidak tahu kapan RUU Penyadapan akan terbit. Sehingga, ketidakjelasan undang-undang tersebut akan memperburuk praktik penyadapan yang tanpa batas," tutur koalisi.
Koalisi juga semakin yakin pasal itu rentan disalahgunakan lantaran tidak ada satu pun pasal di dalam KUHAP baru yang berusaha menjelaskan bahwa sebelum adanya undang-undang tentang penyadapan maka ketentuan penyadapan di dalam KUHAP baru tidak dapat dilaksanakan.
3. Koalisi sayangkan tuduhan hoaks yang dilempar oleh DPR

Koalisi sipil juga menyayangkan tuduhan hoaks dan stigma serta pelabelan yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman. Bahkan, politikus Partai Gerindra itu menuding koalisi sipil pemalas dan tidak menyimak pembahasan RUU KUHAP yang dilakukan di DPR.
"Koalisi sangat menyayangkan tuduhan-tuduhan hoaks dan stigma-stigma pelabelan yang disampaikan oleh anggota DPR tersebut. Alih-alih berdiskusi substansi, pelabelan-pelabelan yang tidak perlu malah terjadi," kata koalisi sipil.
Mereka menegaskan empat masalah krusial yang tertuang di dalam poster yang didesain oleh Bijak Memilih dan Indonesian Matters bukan hoaks. Itu merupakan hasil dari pembacaan dan sikap kritis draf RUU KUHAP.
"Koalisi sejak awal menyampaikan perubahan KUHAP harus fundamental, menyentuh akar masalah peradilan pidana. Namun, yang terjadi malah menyuburkan praktik-praktik koruptif dan melanggengkan ketiadaan judicial scrutiny yang substansial," tutur koalisi.
Sejak awal, kata koalisi, mereka memberikan rekomendasi dan harapan paling tinggi pembaruan KUHAP sesuai dengan perspektif HAM. Sebab, butuh waktu 44 tahun untuk merevisi KUHAP.
"Maka, sangat mengecewakan jika revisi KUHAP tidak dilakukan secara komprehensif," kata mereka.


















