Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WANSUS Ketua KPAI: Ledakan SMAN 72 dan Sinyal Perundungan hingga Kekerasan

Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah
Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Intinya sih...
  • Pengawasan sekolah dinilai kurang peka membaca perubahan perilaku dan barang bawaan siswa. Sistem pelaporan perundungan tidak berjalan, membuat tanda bahaya seperti pada FH tak terbaca.
  • Program Sekolah Ramah Anak dan tim pencegahan kekerasan banyak hanya jargon. Implementasi lemah, guru belum terlatih, dan budaya menganggap perundungan hal biasa masih menghambat pencegahan.
  • KPAI menegaskan perlunya kolaborasi nyata antara sekolah, orang tua, siswa, dan lingkungan. Pencegahan kekerasan tidak efektif bila hanya mengandalkan sekolah tanpa dukungan komunitas luas.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta berujung dengan fakta bahwa aktor di belakangnya adalah seorang siswa sekolah tersebut. FH melakukan tindak peledakan dan kini berstatus anak berhadapan dengan hukum (ABH).

Dinamika yang lahir di kepala remaja Indonesia saat ini menjadi pengingat bagaimana dan ke mana nantinya generasi ke depan akan bertumbuh. Kejadian ini juga jadi pemantik setiap orang, bahwa generasi kita butuh sentuhan dan penanganan lebih kuat untuk bisa mengahapi dunia yang semakin dinamis dan berubah. Ikat pinggang pemerintah, orang tua, guru, dan lingkungan harus dikencangkan mengantisipai berbagai kondisi dan dinamika generasi masa depan bangsa.

Tidak sedikit narasi yang muncul menceritakan bahwa FH mengalami perundungan dan diduga tak ditanggapi oleh sekolah. Namun, celah kekerasan yang dilakukan juga tak bisa dibenarkan.

Ketua Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret Aliyatul Maimunah saat ditemui di kantornya Selasa pekan lalu, menegaskan perlunya penguatan pengawasan dan sistem penanganan perundungan di sekolah menyusul kembali mencuatnya kasus kekerasan antarpelajar. Ia menilai satuan pendidikan belum memberikan atensi yang memadai terhadap dinamika perilaku dan keseharian peserta didik.

"Tapi memang betul seharusnya, satuan pendidikan sekolah itu punya atensi. Meski ini kan terjadi banyak pertanyaan, misalnya, kok bisa lolos dari pengawasan, bawaan-bawaan itu, berarti kalau mengacu dari situasi ini, berarti lain waktu, dengan dasar dari kejadian ini, kalau ada anak-anak yang datang ke sekolah dengan barang bawaan yang tidak pada umumnya, berarti tidak bisa didiamkan, mesti dicek, kecuali mungkin dia mau penampilan tertentu, atau mau ada acara tertentu, yang memang harus bawa barang banyak, barang ganti misalnya, oke itu ya," kata dia kepada IDN Times, dikutip Rabu (19/11/2025).

1. Perubahan sikap siswa sering diabaikan

Pelaku Ledakan SMAN 72 Ditetapkan Sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH)
Pelaku Ledakan SMAN 72 Ditetapkan Sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Margaret juga menyoroti adanya komunikasi informal antarsiswa yang seharusnya bisa menjadi alarm awal. Dia menyebut adanya informasi bahwa FH adalah siswa yang sebelumnya ceria berubah menjadi pendiam sejak naik kelas.

"Ini kan ada kasak-kusuk di antara anak-anak, misalnya sempat ada informasi, anak ini dulunya sebenarnya ceria, waktu kelas 10, tapi kelas 11 udah mulai pendiam, mulai menjadi agak pendiam," ujarnya.

Menurutnya, beberapa teman FH bahkan mengetahui kebiasaan yang menunjukkan gambar bernuansa kekerasan atau menjadi target perundungan. Namun tidak ada laporan yang masuk ke guru atau sistem sekolah.

“Terus kemudian ada yang bilang, kalau anak itu suka menunjukkan tulisan, gambar, atau suka nonton yang kekerasan begitu, itu nggak ada yang lapor,” ujarnya.

Situasi ini, kata Margaret, menunjukkan adanya celah dalam sistem pelaporan. Apakah sistem untuk pengaduan ketika ada teman-teman atau anak yang mengalami perundungan. Guru, kata Margaret, tak bisa hanya fokus pada kegiatan belajar-mengajar.

2. Program sekolah ramah anak belum optimal

Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH)
Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Indonesia sebenarnya sudah memiliki sejumlah regulasi, termasuk program Sekolah Ramah Anak dan pembentukan tim pencegahan kekerasan di sekolah. Namun memang diakui, implementasi masih jauh dari harapan.

“Tapi dengan kejadian ini, berarti kan kita bisa melihat, oh berarti belum berjalan optimal. Apakah ini hanya di SMAN 72? Nggak. Hampir di banyak sekolah,” kata dia.

Dia menilai sebagian sekolah justru masih menganggap perundungan sebagai sesuatu yang biasa dan jadi tak bisa disikapi saat ada kejadian yang datang.

Margaret juga menyinggung pola pikir lama yang masih melekat pada sebagian pendidik—bahwa kekerasan fisik adalah bagian dari disiplin. Karena itu, penguatan kapasitas tenaga pendidik menjadi kebutuhan mendesak.

3. Ada pembagian peran dan dukungan tangani anak

Suasana SMA 72 Jakarta usai ledakan pada Jumat (7/11/2025)
Suasana SMA 72 Jakarta usai ledakan pada Jumat (7/11/2025) siang (IDN Times/Santi Dewi)

Meski demikian, Margaret mengakui implementasi di lapangan masih lemah. Banyak sekolah mengaku memiliki program ramah anak, namun tidak memahami teknis pelaksanaannya.

“Ya sekadar jargon saja… tapi praktiknya itu banyak tidak paham,”

Namun timbul pertanyaan apakah tenaga sekolah memang butuh kolaborasi bersama hingga adanya pelatihan dalam penanganan bullying. Sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Peserta didik, komite sekolah, hingga komunitas, kata dia, harus dilibatkan dalam tim pencegahan kekerasan.

"Kadang kan kita tidak elok juga menyalahkan sekolah, padahal kadang praktek bullying terjadi di luar sekolah, sudah jam pulang, sudah sore, sudah malam, atau menyalahkan orangtua saja juga tidak bisa. Tentu butuh kebersamaan dalam hal ini. Kebersamaan yang tidak sekedar bersama. Tapi setidaknya itu ada pembagian peran yang saling diketahui dan saling mensupport," katanya.

4. Mengurus anak butuh "Satu Kampung”

Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah.
Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dia mengingatkan bahwa kejadian bullying tidak selalu terjadi di lingkungan sekolah dan tidak bisa hanya dibebankan pada orang tua. Diperlukan kolaborasi lintas pihak yang benar-benar berjalan.

“Setidaknya itu ada pembagian peran yang saling diketahui dan saling mensupport,” ujarnya.

Konsep pencegahan, menurutnya, harus seperti pendekatan komunitas. Dia mencontohkan sebuah kampung di Yogyakarta yang menerapkan aturan gadget secara kolektif.

“Saling menjaga satu kampung," ujarnya.

Margaret berharap pendekatan serupa bisa diterapkan dalam upaya menciptakan lingkungan bebas kekerasan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us

Latest in News

See More

Tak Terima Diputus, Remaja di Bekasi Bobol Rumah Mantan Pacarnya

20 Nov 2025, 10:00 WIBNews