Anggota DPR Kecam Keras Fadli Zon: Mencederai Korban dan Pegiat HAM

- Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh mengecam pernyataan Menbud Fadli Zon, yang menyatakan, tidak ada pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa pada tragedi 1998.
- Pernyataan Fadli Zon bukan hanya menciderai perasaan korban dan pegiat HAM, tapi juga menunjukkan sikap abai terhadap catatan sejarah kelam bangsa ini.
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh turut mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon, yang menyatakan, tidak ada pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa pada tragedi 1998.
Perempuan yang akrab disapa Ninik itu mengatakan, pernyataan Fadli Zon bukan hanya mencederai perasaan korban dan pegiat HAM. Namun, juga menunjukkan adanya sikap abai terhadap catatan sejarah kelam bangsa ini.
“Tragedi pemerkosaan saat Mei 1998 itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jadi saya kira siapa pun yang menyebut nggak ada tragedi perkosaan itu tentu sangat tidak pantas dan menghapus jejak sejarah kekerasan seksual yang telah diakui secara luas, baik oleh Komnas Perempuan maupun berbagai lembaga independen nasional dan internasional,” kata Ninik di Jakarta, Senin (16/6/2025).
1. Korban pemerkosaan massal 1998 butuh penegakan hukum

Ia pun meminta agar semua pihak lebih berhati-hati dalam berkomentar tanpa dibarengi dengan kajian mendalam, terlebih berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan.
“Seharusnya kaji dulu dengan benar, temui keluarga korban, masih banyak itu yang hidup,” kata dia.
Dia mengatakan, kajian Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah sangat nyaring disuarakan sejak dulu. Menurut dia, para korban membutuhkan penegakan hukum, bukan pengingkaran terhadap kebenaran yang menyakitkan.
“Paling tidak kalau malas mengkaji sendiri ya suruh tim penelitinya yang turun, jangan asal berkomentar nggak ada pemerkosaan (saat 1998),” ujar dia.
2. Tragedi 1998 merupakan peristiwa berdarah

Ninik menambahkan, tragedi Mei 1998 merupakan peristiwa berdarah yang tidak hanya menewaskan banyak warga sipil. Tragedi 1998, menurut dia, menyisakan luka mendalam bagi perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Sebab, fakta-fakta tentang pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa ini telah tercatat lengkap dalam laporan Komnas Perempuan dan TGPF hingga menjadi perhatian internasional.
“Mengingkari fakta tersebut sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menutup ruang pemulihan bagi mereka,” kata dia.
3. Fadli Zon ragukan permerkosaan masal 1998 karena minim bukti

Diketahui, polemik pernyataan Fadli Zon itu bermula ketika diwawancarai pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis dalam program 'Real Talk.' Ketika ditanya, soal perkosaan massal pada Mei 1998, Fadli mengatakan, peristiwa 27 tahun lalu itu masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai aksi pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis China.
Menurut Fadli, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
“Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kami nggak pernah tahu, ada nggak fakta keras? Kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul nggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu nggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada (bukti) tunjukan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada!” ujar dia.
Uni Lubis kemudian menyebut Tim Gabungan Pencari Fakta pernah memberikan keterangan soal peristiwa pemerkosaan massal benar terjadi pada Mei 1998. Namun, Fadli mengaku pernah membantah temuan TGPF itu.
“Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” kata dia.