Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Banjir Kritik! Dekan FISIP Unri Divonis Bebas dalam Kasus Pelecehan

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Dekan FISIP Universitas Riau (Unri) nonaktif, Syafri Harto divonis bebas atas kasus dugaan pencabulan mahasiswi di kampusnya. Majelis hakim pengadilan negeri Pekanbaru menjatuhkan putusan ini pada Rabu 30 Maret 2022.

ICJR, IJRS, PUSKAPA, Aliansi kampus aman dan KOMPAKS, mengecam putusan kelam bagi korban kekerasan seksual di perguruan tinggi ini.

“Kami mengkritisi putusan hakim ini, yang tidak menunjukkan komitmen untuk menciptakan keadilan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, khususnya di ranah pendidikan,” bunyi rilis bersama yang dikutip IDN Times, Jumat (1/4/2022).

1. Minta penuntut umum ajukan kasasi

ilustrasi korban. (IDN Times/Aditya Pratama)

ICJR, IJRS, PUSKAPA, Aliansi kampus aman dan KOMPAKS meminta agar penuntut umum mengajukan kasasi di dalam perkara ini. Sementara itu, majelis hakim di tingkat kasasi dinilai dapat perbaiki kesalahan penilaian fakta perkara dan menjatuhkan pidana secara proporsional sesuai dengan perbuatannya dengan juga menerapkan amanat Perma Nomor 3 tahun 2017.

Rektorat FISIP Unri diharapkan bisa mendorong kejelasan mekanisme etik kasus ini dan tak terpengaruh putusan PN Pekanbaru.

“Rektorat juga harus dapat memastikan bahwa putusan ini tidak berdampak buruk kepada kelanjutan pendidikan korban,” bunyi keterangan pers itu.

2. Disebut tak ada bukti kekeraan dan ancaman

Sidang vonis penyiraman air keras Novel Baswedan (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Syafri didakwa dengan primair Pasal 289 KUHP dan subsidair Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP dan lebih subsidair Pasal 281 ke-2 KUHP.  Seluruhnya dinyatakan tidak terbukti oleh hakim. Tidak terbuktinya dakwaan di dalam perkara ini didasari oleh pertimbangan bahwa tidak adanya bukti kekerasan dan ancaman kekerasan.

Hakim juga beralasan bahwa relasi yang tak berimbang antara korban dan terdakwa tidak bisa dijadikan alasan. Serta disorotinya ketiadaan bukti korban dilecehkan apalagi tak ada orang lain saat kejadian.

3. Bukti dianggap sudah bisa jelaskan terjadi perkara

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Hal ini sangat disayangkan, karena bukti dianggap sudah cukup membuktikan terjadinya perkara. Soal ketiadaan bukti, perlu dicermati bahwa alat bukti yang diajukan untuk perkuat pelecehan korban adalah surat pemeriksaan korban dan juga keterangan psikiater, dua alat bukti ini harusnya sudah bisa mendukung keterangan korban.

Kemudian, terkait saksi saat kejadian seharusnya tak bisa jadi alasan hakim dan dinilai telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 5 Perma 3 tahun 2017 yang melarangnya mengeluarkan pernyataan yang mengandung stereotip, seakan-akan Korban berbohong atas peristiwa yang menimpanya.

Majelis hakim dinilai sudah mengabaikan pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum yang tertuang dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. Kemudian dalam kekerasan seksual relasi kuasa adalah faktor paling utama dan selalu ada, hal ini seharusnya digali dengan hati-hati.

4. Putusan ini bisa beri dampak buruk pada kelanjutan pendidikan korban

Kampus MDP Buat Aplikasi Mengantre Vaksinasi Cegah Kerumunan (IDN Times/Dok. Kampus MDP)

Sedangkan, jika ditelisik dari dakwaan subsidair, penuntut umum juga sudah mencantumkan Pasal 294 ayat 2 ke-2 KUHP yang menjangkau kemungkinan terjadinya perbuatan cabul, karena relasi kuasa dan kasus ini dinilai sudah sangat jelas memenuhi unsur cabul dan relasi kuasa.

“Sehingga, terdakwa seharusnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana paling tidak berdasarkan dakwaan subsidair,” kata lima organisasi itu.

Kasus perbuatan cabul di kampus serupa juga pernah diputus PN Tanjungkarang pada 2018, tapi terdakwa dihukum penjara.

“Selain catatan-catatan berkaitan dengan substansi putusan, kami juga menaruh perhatian akan dampak yang dapat terjadi kepada korban menyusul dijatuhkannya putusan ini. Sebagaimana diketahui, saat ini terdakwa merupakan dekan Nonaktif sementara dari fakultas tempat Korban menempuh pendidikannya. Kami menyoroti bahwa penjatuhan putusan bebas ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada kelanjutan pendidikan korban,” bunyi keterangan itu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
Lia Hutasoit
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us