Bisakah PNS Tidak Dipecat karena Bukan Pelaku Utama Kasus Korupsi?

Jakarta, IDN Times - Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengatakan PNS yang terlibat kasus korupsi bisa saja diberhentikan secara hormat. Hal itu dengan mempertimbangkan bahwa individu yang bersangkutan ternyata bukan pelaku utama dalam tindak kejahatan korupsi. Informasi tersebut bisa diketahui dari fakta yang bergulir di persidangan.
"Misalnya seseorang diputuskan tidak terbukti dalam dakwaan primair, tapi terbukti dalam dakwaan subsidairnya. Dia bukan pelaku utama, tetapi hanya korban. Apakah itu akan diberhentikan tidak hormat? Kalau menurut UU iya. Ini yang nantinya akan dirapatkan dengan berbagai instansi," ujar Kepala BKN, Bima Haria Wibisana pada Selasa (4/9) di gedung KPK.
Kedatangan Bima ke gedung lembaga antirasuah untuk membahas 2.357 PNS yang masih berstatus aktif namun terlibat kasus korupsi. Masalahnya, karena mereka masih aktif berstatus sebagai PNS, abdi negara itu tetap menerima gaji. Sementara, sesuai UU yang berlaku, mereka seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat.
Lalu, dari sudut pandang KPK, bisa kah PNS yang hanya dijadikan pesuruh itu tidak dihukum? Sebab, mereka sesungguhnya adalah korban karena tidak bisa menolak perintah dari atasannya.
1. Ketua KPK menyarankan agar tidak memukul rata semua orang yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi

Ketua KPK, Agus Rahardjo, menilai bisa saja tidak semua yang terlibat di dalam kasus korupsi dijadikan tersangka. Apalagi kalau PNS tersebut hanya disuruh oleh atasannya, sehingga ia ikut terjebak dalam kasus tersebut.
"Harapan kami ke depan supaya para penegak hukum lebih jeli sehingga tidak menetapkan status tersangka kepada orang yang tidak menerima uangnya. Apalagi, dia hanya menjalankan perintah secara terpaksa," kata Agus ketika memberikan keterangan pers pada siang tadi.
Lembaga antirasuah, tutur dia, sudah mencoba menerapkan strategi seperti itu. Mereka hanya menetapkan status tersangka kepada pihak yang menjadi master mind.
"Pejabat penerima hasil pekerjaan dan pejabat pembuat komitmen, biasanya hanya kami jadikan saksi. Tetapi, hal tersebut harus dilatih secara rutin antara KPK dengan para penegak hukum yang lain," kata dia lagi.
2. KPK akan mengirimkan informasi PNS yang berkasus ke Badan Kepegawaian Negara

Selain itu, Agus juga mengatakan jaksa eksekusi KPK akan selalu memberikan informasi kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kemenpan RB terkait PNS yang berkasus. Informasi itu termasuk amar putusan di Pengadilan Tipikor. Dengan begitu, BKN dan Kemenpan RB bisa segera memblokir data kepegawaian dari PNS yang bersangkutan dan memberhentikan mereka secara tidak hormat.
"Tapi jaksa eksekutor kan tidak hanya berada di KPK, tetapi juga di Kejari, Kejati dan juga Kejagung. Oleh karena itu, kami mohon kepada mereka, kalau mengeksekusi kasus, kalau ada informasi menyangkut ASN, maka informasi itu harus diberikan supaya bisa dilakukan pemberhentian tidak hormat," kata Agus.
3. Dibutuhkan integrasi data antara KPK, Kemenkum HAM, Kemendagri, Badan Kepegawaian Negara dan Kemenpan RB
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana mengatakan pihaknya baru mengetahui ada 2.357 PNS aktif yang terlibat kasus korupsi, lantaran tidak ada integrasi data. Informasi dari Kemenkum HAM memang ada tetapi tidak dilengkapi data Nomor Induk Pegawai (NIP).
"Kami harus yakin betul supaya sanksi yang kami jatuhkan tidak keliru," ujar Bima ketika memberikan keterangan pers di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (4/9).
Oleh sebab itu, Bima berharap supaya ada nota kesepahaman dengan institusi terkait, agar bisa dilakukan pemblokiran data langsung ke PNS yang terlibat kasus korupsi. Dengan begitu, mereka bisa memberhentikan secara tidak hormat para PNS ini.
Bedanya pemberhentian secara hormat dan tidak hormat, katanya yaitu, para PNS itu nantinya tidak akan mendapatkan uang pensiun. Sementara, PNS yang diberhentikan dengan hormat masih bisa memperoleh uang pensiun.
Namun, kini pada faktanya, 2.357 PNS masih tetap menerima gaji tiap bulan walau sudah terlibat kasus korupsi yang ujung-ujungnya membuat keuangan negara merugi.