CEK FAKTA: Parpol Bisa Usung Capres Tanpa Koalisi di Pilpres 2029?

- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang presidential threshold.
- Putusan MK disambut positif oleh masyarakat karena akan melahirkan banyak kandidat di Pilpres 2029 dan parpol tidak perlu berkoalisi.
- Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan bahwa semua parpol yang menjadi peserta Pemilu 2029 punya hak yang sama untuk mengusung kandidat.
Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengenai syarat ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK secara tegas menyatakan, aturan tersebut tidak berkekuatan hukum.
Putusan MK tersebut langsung disambut positif oleh masyarakat. Sebab, Putusan MK itu dinilai akan melahirkan banyak kandidat yang maju di Pilpres 2029 dan parpol tidak lagi harus berkoalisi.
"Hadiah awal tahun pemerintahan Presiden Prabowo berupa demokrasi yang indah. MK mengeluarkan putusan yaitu menghapus presidential threshold, artinya nanti pada Pilpres 2029 tidak perlu ada koalisi antar partai untuk bisa memenuhi 20 persen presidential threshold," cuit salah satu warganet di jejaring media sosial X (Twitter).
"Presidenstial threshold jadi 0 persen, konstelasi berubah," timpal akun lainnya.
Lantas benarkah ketentuan itu berlaku mulai 2029 dan semua parpol bisa mengusung kandidat capres-cawapres tanpa perlu koalisi?
1. Semua parpol bisa usung capres-cawapres di Pilpres 2029 tanpa harus koalisi

Dalam sidang pembacaan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, konsekuensi yang akan terjadi dari dihapusnya presidenstial threshold, yakni Pilpres 2029 berpotensi diikuti banyak pasangan calon presiden-wakil presiden. Sebab, semua parpol yang menjadi peserta Pemilu 2029 punya hak yang sama untuk mengusung kandidat.
Dalam pertimbangannya, Saldi menegaskan, berapa pun persentase presidential threshold tidak sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.
“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” kata Saldi dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2024).
2. MK tak larang DPR buat aturan agar pasangan capres-cawapres tidak terlalu banyak

Kendati demikian, MK tak melarang DPR RI, sebagai pembentuk undang-undang, membuat aturan agar jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak terlalu banyak.
“Sekalipun dalam putusan a quo, Mahkamah telah menegaskan dalam pertimbangan hukum di atas bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik, yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak, sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat,” tutur Saldi.
Dalam putusan ini, MK pun memberikan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) untuk meminimalisir munculnya jumlah kandidat yang terlalu banyak, yakni dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
3. Pilpres 2029 makin inklusif karena banyak kandidat

Hal senada juga disampaikan Pakar kepemiluan sekaligus akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Ia menjelaskan makna dari putusan MK, di mana semua parpol diberikan hak yang sama.
Oleh sebab itu, Titi meyakini Pilpres 2029 akan jauh lebih inklusif. Ia pun mengimbau kepada parpol untuk berbenah dan menyiapkan kader terbaiknya.
"Jadi ini luar biasa ya, 2029 Pilpres kita akan lebih inklusif, masyarakat akan lebih punya banyak pilihan. Semua partai politik punya hak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu ya," imbuh dia.