Komnas Perempuan: Kesehatan Mental Pilar Pemulihan Korban Kekerasan

- Perlu mengintegrasikan isu kesehatan mental ke dalam kebijakan nasional
- Kekerasan berdampak langsung pada kesehatan mental korban
- Mundurnya korban kekerasan seksual karena proses hukum panjang
Jakarta, IDN Times - Kesehatan mental merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari hak asasi manusia dan pilar utama dalam pemulihan serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini diungkapkan Komnas Perempuan dalam peringatan Hari Kesehatan Mental yang jatuh tiap 10 Oktober.
“Kesehatan mental perempuan tidak boleh dipandang sebagai isu tambahan, melainkan bagian esensial dari hak atas pemulihan dan kehidupan yang bermartabat,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, Jumat (10/10/2025).
1. Perlu mengintegrasikan isu kesehatan mental ke dalam kebijakan nasional

Komnas Perempuan mengingatkan, melindungi kesehatan mental masyarakat, khususnya perempuan adalah kewajiban negara dalam konteks pemenuhan HAM.
Sejalan dengan hal ini, Komnas Perempuan menggarisbawahi rekomendasi mekanisme HAM Internasional, di antaranya Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menegaskan pentingnya mendekatkan akses layanan kesehatan mental dengan daerah rawan bencana.
Karena itu, Komnas Perempuan mendorong pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata dengan mengintegrasikan isu kesehatan mental ke dalam kebijakan nasional, termasuk sistem kebencanaan dan perlindungan sosial.
2. Kekerasan berdampak langsung pada kesehatan mental korban

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 mencatat 330.097 kasus kekerasan berbasis gender pada perempuan (KBGtP), yang menggambarkan skala kekerasan dengan dampak langsung pada kesehatan mental korban.
Sedangkan, 93 persen di antaranya adalah kekerasan dalam ranah personal, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi intim, yang secara konsisten menimbulkan trauma psikologis dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
3. Mundurnya korban kekerasan seksual karena proses hukum panjang

Data Komnas Perempuan juga mencatat banyak korban kekerasan tidak maju untuk proses hukum karena lelah secara emosional dan psikologis. Hal ini dinilai menandakan lemahnya dukungan psikososial dan tingginya beban mental dalam proses penanganan kasus.
Dalam pemantauan kasus kekerasan seksual, Komnas Perempuan juga menemukan gejala psikologis berat korban, seperti depresi, kecemasan, insomnia, hingga keinginan bunuh diri, yang diperparah oleh stigma sosial dan trauma berulang.
Sedangkan akses layanan pemulihan psikologis dinilai masih terbatas, terutama di wilayah 3T dan kepulauan, dan daerah yang terdampak bencana, sehingga memperpanjang siklus penderitaan dan menghambat pemulihan yang berkeadilan bagi perempuan korban kekerasan.