Makin Solid, Tokoh Agama se-Banyuwangi Tak Gentar Disinggung Isu SARA

Banyuwangi IDN Times - Soliditas masyarakat, tokoh lintas agama, pengamat, budayawan, sejarawan, komunitas, pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan media di Banyuwangi luar biasa. Saat ada yang mengganggu dengan isu SARA, mereka langsung bereaksi dengan kesantunannya.
Apalagi dua tokoh Banyuwangi yang di-black campaigne dan dibuat narasi hoaks itu ialah Bupati Azwar Anas dan Menpar Arief Yahya. Lalu agama dan suku yang dijadikan “martil” untuk berseteru ialah Islam dan Hindu, serta suku Jawa, Madura, dan Osing. Semua isu itu masuk melalui pintu halal tourism dan pariwisata secara umum dengan tudingan arabisasi.
Respons netizen tentu lebih reaktif dengan gaya bahasa dan caranya sendiri di media sosial. Akademisi pun menggunakan penjelasan yang lebih mendalam melalui media online. Pemerintah tetap tenang dan terus mengikuti perkembangan tulisan hoaks itu.
Beruntung, masyarakat Banyuwangi sangat dewasa menyikapi polemik yang tidak menguntungkan itu. Sejumlah tokoh lintas agama dan budayawan Banyuwangi pada Sabtu (29/6) langsung menggelar pertemuan.
Ibarat disinggung dengan isu SARA, tentu para tokoh agama itulah yang paling merasakan sakitnya. Tugas mereka menjadi lebih ekstra, menyosialisasikan kembali makna hidup bertoleransi dan meluruskan isu yang tidak menyenangkan itu. Namun, itu justru menguatkan rasa persatuan dan toleransi mereka.
1. Tokoh agama buka suara
Ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyuwangi KH Nur Khozin menyebut pengembangan pariwisata halal di Banyuwangi sama sekali jauh dari arabisasi. Dia menyesalkan isu yang tidak bertanggung jawab tersebut muncul dan membuat keruh suasana.
"Arabisasi itu berarti menerapkan budaya Arab. Di Banyuwangi tidak ada seperti itu,” ujar KH Nur saat konferensi pers di Rumah Adat Suku Osing di Pendopo Banyuwangi, Sabtu (29/6).
Perwakilan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Banyuwangi I Komang Sudira mengatakan, pengembangan wisata dan kebudayaan di Banyuwangi berjalan sangat baik dan menghargai keberagaman. Seni-budaya berbasis kearifan lokal Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) digelar rutin dan semarak.
"Sampai saat ini, tidak saya temukan upaya untuk memaksakan nilai-nilai agama tertentu yang dapat merusak keberagaman yang ada. Apalagi dalam hal kebudayaan dan kesenian," tuturnya.
Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Banyuwangi Pendeta Anang Sugeng Sulistiyo mengatakan, kebudayaan dan kesenian yang berkembang dari suku Osing selama ini berlaku universal. Dia mencontohkan tari gandrung yang tidak hanya ditarikan warga beragama tertentu. Anak-anak muda lintas agama juga menarikannya dalam berbagai festival seni di Banyuwangi.
"Semua agama bisa menarikannya. Baik muslim, Hindu, Kristen, Budha dan lainnya, semuanya bisa menarikannya. Jadi, tak ada pemaksaan sebagaimana yang dituduhkan dengan istilah arabisasi itu," tutur Pendeta Anang.
2. Budayawan tolak tuduhan arabisasi terhadap pariwisata di Banyuwangi
Sejumlah budayawan juga menolak tuduhan arabisasi terhadap pariwisata di Banyuwangi. Apalagi tuduhan tersebut hanya berdasarkan potongan informasi yang tak lengkap, bahkan cenderung memelintir.
"Jika diamati, tuduhan miring yang disematkan kepada pariwisata Banyuwangi ini dilakukan orang luar Banyuwangi. Yang saya yakin, dia tidak tahu benar dengan kenyataan yang ada," ungkap budayawan Banyuwangi Samsudin Adlawi.
Bahkan, Samsudin menambahkan, sejumlah foto dan narasi yang dibangun untuk melegitimasi tuduhan arabisasi itu hanya berdasarkan prasangka.
"Menyebut suku Osing dan kebudayaannya itu sebagai Hindu adalah tuduhan yang buta sejarah dan tak faktual," tutur mantan ketua Dewan Kesenian Blambangan tersebut.
Samsudin meminta tidak ada upaya memecah belah kerukunan di Banyuwangi. Dia menyebut tulisan yang menuding ada arabisasi terhadap umat Hindu di Banyuwangi ialah upaya mengadu domba.
“Tapi itu tidak akan berhasil karena semua orang mengetahui betapa keberagaman dan kearifan lokal di Banyuwangi ini dirawat dan dirayakan, bukan dihilangkan,” ujar Samsudin.
3. Pengembangan destinasi wisata halal di Banyuwangi hanya strategi pemasaran semata
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, pengembangan destinasi wisata halal tidak lebih dari strategi pemasaran saja. Pangsa pasar wisata halal di dunia terus mengalami kenaikan. Pasar inilah yang kini coba dibidik Banyuwangi.
"Halal tourism selama ini terus meningkat trennya. Bahkan, di negara-negara yang notabenenya orang muslim bukan mayoritas, wisata halalnya sangat maju. Sementara itu, kita yang merupakan negara dengan mayoritas penduduknya muslim, jauh tertinggal," ungkap Anas.
Ceruk pasar tersebut yang coba diambil dunia wisata di Banyuwangi. Branding halal tourism diharapkan mampu menarik peminat wisata halal ke ujung timur Pulau Jawa ini.
"Banyuwangi sendiri, sebenarnya, wisatanya sudah memenuhi standardisasi halal tourism. Hampir semua wisata, ada tempat ibadahnya. Makanannya pun makanan halal. Jadi, halal tourism ini bukan soal arabisasi, tapi soal promosi dan segmentasi pasar sana. Urusan komersial untuk mendatangkan wisatawan, tidak lebih, dan jelas bukan Arabisasi," tutur Anas.
Pertemuan tersebut juga diikuti Ketua I Forum Kerukunan Umat Beragama, budayawan senior Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, serta sejumlah tokoh budaya lainnya, seperti Taufiq Hidayat dan Budianto.