Akun Robot di Balik Perang Pendukung Capres di Medsos

Jakarta, IDN Times - Momen kampanye Pemilihan Presiden 2019 baru akan dimulai pada 23 September mendatang. Tapi, perdebatan mengenai keburukan dan kebaikan masing-masing calon presiden dan wakil presiden sudah terasa panas di media sosial. Walaupun perdebatan itu juga terlihat di dunia nyata.
Menurut Ismail Fahmi, penemu aplikasi Drone Emprit, ada hal unik yang ditemukan dari kubu Joko "Jokowi" Widodo dan Prabowo Subianto, yakni keduanya sama-sama menggunakan akun robot serta anonim untuk menggiring narasi di dunia maya.
Pilihan penggunaan akun bot dinilai jauh lebih efektif oleh kedua kubu, karena mereka sudah pusing mengelola puluhan ribu akun media sosial. "Akhirnya, akun-akun bot ini diberi nama yang aneh-aneh. Kita bisa tahu dengn mengecek kalau jumlah followernya hanya satu dan di dalamnya terdapat hestek tertentu," ujar Ismail ketika berbicara di acara Indonesia Lawyers Club di tvOne pada Selasa malam (21/8).
Yang mencengangkan biaya yang digelontorkan untuk menggunakan akun bot itu tidak murah. Tarifnya mencapai Rp10 juta - Rp15 juta. Wow, mahal juga ya guys! Lalu, bagaimana dong cara publik agar tidak hanyut terbawa "peperangan" di media sosial oleh kedua kubu?
1. Akun bot kedua kubu saling follow di medsos tapi tidak saling retweet

Pola menarik lainnya yang ditemukan oleh Ismail di media sosial mengenai kedua kubu itu adalah mereka memiliki akun Twitter. Mereka saling follow akunnya, tetapi tidak mencuit ulang dan hanya mention saja.
"Kalau polanya mencuit ulang (retweet) maka isi pernyataannya sama dengan yang ada di pola pikirinya. Tetapi, kalau mention maka biasanya itu digunakan untuk saling menyerang," kata Ismail.
Tetapi, uniknya dilihat dari grafis yang ia miliki, justru ada akun-akun yang berada di tengah dan bahkan dicuit ulang oleh kedua kubu. Akun siapa itu?
"Itu adalah akun media. Jadi, di sini pentingnya peran media, di mana mereka bisa menjadi penengah. Sehingga, media harus menyampaikan berita mengenai kedua kubu, tetapi disampaikan saja apa adanya," kata dia lagi.
2. Masing-masing kubu harus semakin cerdas menggunakan data saat berkampanye

Menurut Ismail, di era keterbukaan informasi di dunia maya ini, ada dampak positif yang bisa diambil oleh kedua kubu, yaitu mereka harus "berperang" dengan menggunakan data yang akurat. Sebab, pola yang ditemukan oleh Ismail di dunia maya adalah masing-masing kubu akan mempromosikan kebaikan calonnya.
"Kemudian, mereka akan mencari titik kelemahan dari lawannya dan dijatuhkan oleh kelompok oposisi. Justru, dengan begitu masyarakat bisa melihat secara jelas seperti apa kualitas dari masing-masing calon," tutur Ismail.
Namun, syaratnya, masyarakat harus disajikan data yang fair mengenai kedua pasang calon. Itu sebabnya perlu ada akun penengah tadi.
3. Kominfo diminta netral dalam melihat perang di media sosial

Dalam pandangan Ismail, "peperangan" di media sosial dengan saling menyampaikan gagasan dan ide sebenarnya bermakna positif. Asalkan, pemerintah selaku regulator juga bertindak netral. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) jangan justru memihak salah satu kubu.
"Kalau pemerintah bersikap netral, maka akan enak (peperangan di media sosial). Tapi, kalau regulatornya sudah memihak maka itu yang akan repot," katanya lagi.
Ismail juga menyebut langkah Kominfo menutup akun-akun yang menyebarkan informasi hoax tidak terlalu efektif. Karena dalam waktu singkat, mereka sudah bisa membuka ribuan akun baru dan memberikan informasi keliru lainnya ke publik.