Eks Pimpinan KPK: Gak Perlu Ribut Bila Ingin Buru Djoko Tjandra

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Laode M. Syarif mewanti-wanti pemerintah dalam memburu koruptor kelas kakap seperti Djoko S. Tjandra tidak perlu ribut-ribut. Sebab, bila strategi pemerintah sudah terbaca hendak memburu buronan hak tagih Bank Bali itu ke Malaysia, bisa jadi ia sudah kabur ke negara lain. Kemungkinan lainnya yaitu Pemerintah Negeri Jiran tidak akan bersedia bersikap kooperatif.
"Apalagi bila sudah diberitakan bahwa eks Jaksa Agung Malaysia meminta eks Jaksa Agung Indonesia menyelesaikan kasus DT (Djoko Tjandra) di Indonesia, kalau sudah diributin begitu, gak yakin saya Malaysia akan kooperatif. Karena apa? Itu (jaksa agung) adalah face of the nation," ungkap Laode ketika berbicara di diskusi bersama organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan topik "Menakar Efektivitas Rencana Pembentukan Tim Pemburu Koruptor" pada Minggu, 19 Juli 2020.
Eks Jaksa Agung Malaysia yang dimaksud yaitu Tan Sri Mohammed Alpandi. Dalam pemberitaan Majalah Tempo pada periode 12 Juli 2020 - 18 Juli 2020 lalu, mereka menyebut Alpandi mencoba melobi eks Jakgung Muhammad Prasetyo. Namun, Tempo tidak berhasil mendapat konfirmasi dari Alpandi. Ia hanya memperoleh pengakuan dari Prasetyo.
Menurut Prasetyo, Djoko mencoba menitipkan pesan kepada dirinya melalui Alpandi. Djoko mengatakan bersedia mengakhiri masa pelariannya selama delapan tahun asal kasus hukumnya dihapus. Sebagai imbalannya, ia janji akan membawa pulang hartanya ke Tanah Air.
"Dia mengaku ingin melakukan investasi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia daripada memberi manfaat bagi negara lain," kata Prasetyo.
Padahal, antara Indonesia dengan Malaysia memiliki perjanjian ekstradisi. Sehingga, memungkinkan bagi Indonesia memboyong pulang pemilik Group Mulia itu. Lalu, mengapa sulit untuk membawa pulang Djoko dari negara tempat persembunyiannya kini?
1. Daripada ribut untuk menangkap Djoko Tjandra lebih baik dibicarakan lewat channel tertutup

Syarif mengakui perjanjian ekstradisi yang sudah dimiliki oleh kedua negara tidak menjadi jaminan negara tempat Djoko bersembunyi mau menyerahkan dia. Apalagi ia tergolong masih memiliki banyak sumber daya finansial dan masih bersedia berinvestasi di negara tujuan.
"Ya, pasti ada keuntungan ekonomi yang didapat dengan membiarkan Djoko di sana," ungkap pria yang sempat menjadi pengajar di Universitas Hassanuddin itu.
Ia menegaskan pekerjaan untuk memburu koruptor atau buronan tidak akan pernah sukses bila dilakukan dengan cara ribut-ribut. Salah satunya yang disampaikan ke ruang publik yakni ingin menghidupkan kembali tim pemburu koruptor.
"Semua pekerjaan memburu koruptor itu harus dengan silence operation," tutur dia lagi.
2. KPK nyaris gagal membawa pulang Nazaruddin ketika sudah tiba di Kolumbia

Syarif kemudian memberikan contoh kesuksesan KPK memboyong mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin tahun 2011 lalu di Kolumbia. Komisi antirasuah sukses menciduk Nazaruddin tanpa bantuan tim pemburu koruptor yang berada di bawah Kemenkopolhukam.
"Jadi rute pelariannya, dia dari Indonesia, langsung ke Singapura, langsung ke Vietnam, pergi ke Kamboja, langsung mencharter pesawat ke Kolumbia," tutur Syarif
Bila penyidik KPK bersikap lambat, maka Nazaruddin ketika itu tidak bisa ditangkap di Kolumbia. Selain itu, ungkap Syarif, kerja sama antar instansi di dalam Indonesia terjalin baik.
"Kerja samanya itu antara KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Kementerian Luar Negeri. Itu kuat sekali. Akhirnya ketika tim KPK tiba di Kolumbia, bila kami terlambat dua jam, Nazaruddin sudah menjadi warga negara Kolumbia," kata dia.
Sebab, Nazaruddin ketika itu sudah mengurus semua persyaratan untuk jadi warga negara Kolumbia. Ia kembali menggaris bawahi operasi semacam itu tidak bisa ribut. Operasi baru akan berhasil bila dilakukan secara diam-diam.
3. Kerja sama antar lembaga penegak hukum jauh lebih efektif dibanding tim pemburu koruptor

Syarif juga mengatakan daripada menghidupkan lagi tim pemburu koruptor, lebih baik meningkatkan kerja sama antar lembaga penegak hukum di berbagai negara. Ia kemudian mengambil contoh kasus korupsi di maskapai Garuda Indonesia.
Untuk bisa membongkar perkara gratifikasi dan suap itu, maka KPK harus menjalin kerja sama dengan CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau - KPK Singapura) dan Serious Fraud Office (KPK Inggris). Proses untuk membongkar perkara Garuda hanya diketahui oleh orang dalam di lembaga itu.
"Bila sudah ribut akan membentuk tim ini dan itu, maka saya pastikan operasinya akan gagal. Mengapa? Karena orang yang melarikan dia sudah tahu dan negara yang jadi tujuan dia kabur sudah pasang kuda-kuda juga. Jangan sampai tidak bagus untuk image negaranya," tutur dia.