Arti Pidana Mati Menurut KUHP

Jakarta, IDN Times - Eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, akhirnya divonis mati atas kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa pidana mati,” kata Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Senin (13/2/2023).
1. Pidana mati adalah sanksi yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah

Dilansir laman resmi Kemenkumham, hukuman mati atau pidana mati adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan.
Pidana mati adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan perbuatan mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
2. Pidana ini sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat

Sanksi ini juga bersifat khas karena setelah eksekusinya dilaksanakan, maka terpidana yang sudah kehilangan nyawa tersebut tidak dapat hidup kembali (apabila ternyata muncul kekeliruan atas perkara yang bersangkutan). Hal inilah yang merupakan salah satu alasan banyak pihak menolak (kontra) sanksi pidana mati.
Pidana mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat ringannya sanksi pidana), sedangkan pengaturan pidana mati di dalam rancangan KUHP bukan lagi sebagai jenis pidana pokok melainkan hanya sebagai pidana alternatif untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Pengaturan demikian di Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
2. Hukuman mati diibaratkan dengan sarana amputasi

Dikeluarkannya pidana mati dari pidana pokok dan menjadi pidana khusus alternatif (eksepsional) menurut Prof. Dr. Barda Nawawi, SH, anggota Tim Penyusun RUU KUHP didasarkan atas tiga pemikiran pokok.
Pertama, dilihat dari tujuan pemidanaan pidana mati hakekatnya bukan sarana utama atau pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu ataupun masyarakat. Pidana mati, hanya merupakan sarana pengecualian.
Jadi hukuman mati diibaratkan dengan sarana amputasi ataupun operasi di bidang kedokteran yang pada hakekatnya juga bukan obat utama tetapi hanya merupakan obat terakhir.
3. Pidana mati juga memperhatikan kepentingan individu

Kemudian kedua, konsep pidana mati sebagai pidana khusus bertolak dari ide keseimbangan monodualistik. Ide ini berorientasi pada keseimbangan kepentingan umum atau perlindungan masyarakat dan juga memperhatikan kepentingan atau perlindungan individu.
Artinya, di samping untuk mengayomi masyarakat pidana mati juga memperhatikan kepentingan individu, seperti ketentuan penundaan pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil dan orang sakit jiwa (Pasal 81 ayat (3)).
Contoh lain adalah dimungkinkannya penundaan pelaksanaan pidana mati, atau dikenal dengan istilah "pidana mati bersyarat" dengan masa percobaan 10 tahun (Pasal 82 ayat (1)).
5. Pidana mati dalam undang-undang (UU) untuk menghindari emosi masyarakat

Ketiga, dipertahankannya pidana mati, meskipun sebagai pidana khusus, juga didasari atas ide menghindari tuntutan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam atau bersifat extra-legal execution.
Artinya disediakannya pidana mati dalam Undang-undang (UU) dimaksudkan untuk menghindari emosi masyarakat.