Ferry Irwandi Bingung Kalimat Mana yang Dinilai Menyinggung TNI

- Ferry Irwandi bingung dengan tuduhan menyinggung TNI
- Melihat sesama warga sipil dibenturkan dalam aksi demo
- Anggota intel BAIS tidak sepatutnya ada di kerumunan massa demonstran
- Aksi demo besar ungkap adanya konflik kepentingan elite
Jakarta, IDN Times - CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, mengaku bingung kalimat apa yang pernah dilontarkannya sehingga dinilai menyinggung instansi TNI. Apakah ajakan kepada para pendemo agar mundur sejenak dari aksi demo supaya tidak terjadi darurat militer, dianggap telah menyenggol militer. Justru dalam pandangannya, negara tidak berada dalam situasi darurat militer menjadi penanda yang positif.
Sosok pemengaruh Ferry Irwandi semakin disorot usai empat jenderal TNI pada Senin kemarin mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi. Belakangan diketahui, TNI mencoba melaporkan Ferry ke jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik.
"Kenapa itu dianggap (perbuatan) pencemaran nama baik sehingga bisa menjatuhkan marwah institusi TNI? Marwah apa yang bisa jatuh hanya karena ujaran semacam itu. Bagian mana dari ujaran saya yang dianggap perbuatan kriminal?" ujar Ferry ketika berbincang dalam dialog virtual dengan Imparsial, Jumat (12/9/2025).
"Saya malah bingung, jadi yang kalian kehendaki darurat militer itu benar-benar terjadi? Atau kalian ada yang di posisi yang sama dengan kami, tak ingin darurat militer diberlakukan," tanyanya di forum tersebut.
Sebab, bila kondisi darurat militer benar-benar diberlakukan usai aksi demo besar-besaran di akhir Agustus, maka dapat merugikan warga sipil. Militer akan berada di depan dalam penanganan demonstrasi lalu kebebasan sipil akan dibatasi.
"Akan ada pemberlakuan jam malam. Kita bisa langsung ditindak oleh militer kalau dianggap ancaman bagi masyarakat atau negara. Saya malah bingung ketika saya katakan jangan sampai ada darurat militer, lalu militer merasa tersinggung?" katanya.
Apalagi, kata mantan PNS Kementerian Keuangan tersebut, status darurat militer hanya bisa diumumkan oleh Presiden.
1. Ferry melihat sesama warga sipil kerap dibenturkan dalam aksi demo

Lebih lanjut, di dalam diskusi itu, Ferry mengaku memang turun ke lokasi untuk demo pada akhir Agustus lalu. Ketika demo berlangsung pada 25 Agustus 2025, massa yang turun untuk demo terlihat tidak seperti massa dalam aksi unjuk rasa lainnya.
Di sisi lain, Ferry mengaku semakin heran TNI mengatakan menemukan tindakan lain yang dianggap perbuatan pidana serius. Padahal, sejumlah pejabat tinggi termasuk Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, sudah menyarankan TNI untuk membuka dialog terbuka dengan Ferry.
"Mereka ini sebenarnya kenapa? Saya sampai sekarang bingung, siapa yang saya sakiti? Padahal Pak Yusril Ihza Mahendra sudah ngomong, Pak Mahfud juga sudah bicara, tapi tetap saja mereka (TNI) bilang kalau menemukan tindak pidana yang lebih serius," tutur dia.
Upaya untuk melaporkan Ferry ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik tidak berhasil. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melarang pemerintah dan badan usaha menggunakan pasal pencemaran nama baik kepada individu.
Di sisi lain, Ferry menilai dalam setiap aksi demo dengan skala besar selalu warga sipil yang dibenturkan dengan warga sipil lainnya. "Sesekali dibalik lah. Kenapa harus rakyat terus yang dibenturkan?" katanya.
2. Anggota intel BAIS tidak sepatutnya ada di kerumunan massa demonstran

Sementara, dalam pandangan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, anggota intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI tidak seharusnya ada di kerumunan massa ketika demo terjadi. Salah satu penyebab rumor TNI disebut sebagai dalang kerusuhan dalam aksi demo pada akhir Agustus lalu, lantaran ditemukan anggota BAIS di sejumlah wilayah di Tanah Air.
"Sebagai anggota BAIS, tugas mereka adalah intelijen tempur bukan intelijen yang memantau dinamika massa. Karena sejatinya tugas pertahanan militer adalah pertahanan negara," kata Al Araf di diskusi virtual yang sama.
Maka, tugas anggota BAIS melakukan deteksi dini bila ada ancaman perang yang datang dari negara lain. Mereka tidak sepatutnya bersama massa aksi demo pada akhir Agustus 2025 lalu.
"Jadi, meskipun Mabes TNI mengatakan keberadaan anggota BAIS di sana untuk memonitor aksi, itu tetap keliru. Sebab, itu bukan tugas intelijen strategis," imbuhnya.
3. Aksi demo besar ungkap ada konflik kepentingan elite

Di forum itu, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bagja Hidayat, menilai aksi demo besar-besaran pada akhir Agustus turut mengungkap adanya persaingan di tingkat elite. Ia pun tetap berpegang teguh bahwa pemberitaan usulan darurat militer yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin benar terjadi.
"Itu memberikan konteks kepada kita bahwa demonstrasi yang berakhir rusuh, yang diikuti penjarahan ke rumah anggota DPR, ke kediaman Ibu Sri Mulyani (mantan Menteri Keuangan), tidak terjadi di ruang kosong," ujar Bagja.
Hal itu, kata Bagja, menandakan adanya konflik elite di sekitar orang-orang Presiden Prabowo. Hal tersebut tidak lepas dari adanya politik kepentingan di balik aksi demo besar-besaran akhir Agustus 2025 lalu.
"Bahkan Pak Presiden tidak mendengar situasi yang utuh (ketika terjadi demo) sampai pada 28 Agustus. Padahal, demonya sudah terjadi sejak 25 Agustus. Itu sebabnya, Prabowo mengutus Menteri Luar Negeri untuk ke China," tutur dia.