Hakim Militer Ungkap 2 Motif Prajurit TNI AL Bunuh Jurnalis Juwita

- Jumran melakukan pembunuhan karena merasa tertekan untuk menikahi Juwita.
- Pengadilan Militer menolak restitusi atas kematian Juwita karena alasan keuangan dan bukan tindak pidana terorisme.
- Keluarga korban tidak puas dengan vonis bui seumur hidup bagi Jumran, menginginkan hukuman mati dan restitusi yang dikabulkan.
Jakarta, IDN Times - Majelis hakim Pengadilan Militer I-06, Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada Senin (16/6/2025) menjatuhkan vonis bui seumur hidup bagi prajurit TNI Angkatan Laut (AL), Jumran. Ia terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap kekasihnya sendiri, jurnalis asal Banjarbaru, Juwita.
"Terdakwa kelasi satu Jumran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana. Oleh karena itu, ia dijatuhi pidana pokok berupa penjara seumur hidup," ujar Ketua Majelis Hakim, Letnan Kolonel CHK, Arie Fitriansyah ketika membacakan amar putusan dan dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa (17/6/2025).
Selain pidana pokok berupa bui seumur hidup, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan bagi Jumran yakni dipecat dari dinas militer TNI AL terhitung sejak putusan dibacakan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan majelis hakim itu sesuai dengan tuntutan yang disampaikan oleh Oditurat Militer (Odmil) III-15 Banjarmasin, Kalsel.
Selain itu, majelis hakim memerintahkan agar beberapa barang bukti disita dan dirampas oleh negara untuk dimusnahkan. Sedangkan, surat-surat tetap dilekatkan dalam berkas perkara. Terdakwa Jumrah pun diperintahkan untuk ditahan.
Apa motif Jumran tega melakukan pembunuhan berencana terhadap kekasihnya sendiri?
1. Terdakwa merasa tertekan karena dipaksa untuk menikahi korban

Lebih lanjut, hakim anggota Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin, Mayor (Kum) Sri Kresno Haryo Wibowo mengatakan motif Jumran tega untuk membunuh Juwita lantaran ia menolak dan merasa tertekan untuk menikahi jurnalis berusia 23 tahun itu. Apalagi keluarga Juwita sudah mendesak agar segera menikahi Juwita.
Selain itu, Jumran juga mengaku merasa emosi karena rekaman video berisi dirinya mengenakan celana dalam tersebar ke keluarga korban. "Adanya rekaman video yang berisi terdakwa menggunakan celana dalam tersebar kepada saksi enam dan saksi tiga, sehingga terdakwa merasa emosi," ujar Kresno di ruang sidang kemarin.
Ia pun juga meyakini telah terjadi hubungan intim antara Jumran dan Juwita ketika keduanya memesan kamar hotel di Kota Banjarbaru pada Desember 2024. Hakim menilai ada kesesuaian keterangan dari saksi ketiga yakni kakak ipar korban dan bukti chatting antara terdakwa dengan korban soal kejadian di kamar hotel tersebut.
"Tidak akan mungkin saat terdakwa dan Juwita berada dalam satu kamar, tidak berbuat apa-apa yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan. Dengan demikian, memberikan keyakinan kepada majelis hakim sebagai petunjuk bahwa terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saudari Juwita pada Desember 2024," ujar Hakim Ketua Letkol Arie Fitriansyah.
Namun, Letkol Arie tidak menyinggung soal dugaan adanya dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Jumran terhadap Juwita. Padahal, Juwita mengaku pernah diperkosa dua kali sebelum ia terbunuh.
2. Pengadilan Militer tak kabulkan restitusi atas kematian Juwita

Selain itu, majelis hakim tidak mengabulkan permintaan restitusi alias ganti rugi atas kematian Juwita dari pihak keluarga korban dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hakim juga mengabaikan amicus curiae atau sahabat peradilan dari Komisi Nasional HAM (Komnas HAM).
Hakim menilai Jumran tidak punya kemampuan finansial untuk membayar tuntutan restitusi kepada keluarga korban. "Terdakwa masih punya tanggungan di bank. Selain itu terdakwa menjalani pidana pokok dan pemecatan dari dinas militer. Dengan demikian terdakwa tidak memiliki kemampuan finansial untuk pembayaran restitusi kepada keluarga korban," kata Letkol Arie.
Selain itu, menurut Arie, pembayaran restitusi seharusnya ditujukan untuk korban tindak pidana terorisme, bukan pembunuhan berencana. "Dalam perkara terdakwa bukan tindak pidana terorisme," tegas imbuhnya.
3. Keluarga korban tidak puas dengan vonis bui seumur hidup bagi terdakwa Jumran

Sementara, kuasa hukum dari keluarga korban, Muhamad Pazri mengaku kecewa vonis bui yang dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Menurut Pazri, majelis hakim seharusnya menjatuhkan vonis hukuman mati karena Jumran terbukti melakukan pembunuhan berencana. Ia juga menyesalkan sebab majelis hakim menolak pengajuan restitusi atau ganti rugi pembayaran yang diajukan oleh LPSK bagi keluarga korban.
"Kami kecewa. Seharusnya putusan melampaui tuntutan dari jaksa penuntut umum adalah hukuman mati," kata Pazri.
Dalam pandangannya, sudah ada beberapa yurisprudensi di mana vonis bui seumur hidup atau mati dan restitusi pun dikabulkan. Menurutnya, bila Jumran tidak sanggup membayar ganti rugi, akan ada ahli waris yang bakal menanggung pembayaran restitusi itu.
"Kan ada ahli warisnya," imbuhnya.