Ini Penjelasan Polri Terkait Layanan Intenet di Papua Masih Dibatasi

Jakarta, IDN Times - Layanan data atau internet di Papua masih dibatasi oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejak Senin (19/8) lalu.
Terkait hal itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, ada beberapa pertimbangan dari Kapolda Papua dan Papua Barat yang juga menjadi alasan Kemenkominfo masih membatasi layanan internet.
"Kominfo tadi menyatakan 52 ribu konten hoaks. Kemarin (Selasa 27 Agustus) cuma 32 ribu. Sekarang mulai dari tanggal 28 (Agustus) sampai sekarang sudah 52 ribu lebih kontens hoaks," katanya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (2/9).
1. Pembatasan layanan internet guna menghindari berita-berita hoaks

Pembatasan layanan internet, kata Dedi, guna menghindari berita-berita hoaks yang terus meluas di masyarakat. Hal itu juga menjadi pemicu kerusuhan masyarakat di Papua. Ia pun mengklaim, adanya pembatasan akses internet, berita hoaks bisa menurun drastis. Aparat juga bisa mengendalikan semua kejadian yang ada di lapangan dengan baik.
"Dibatasi dulu, nggak diblok. Di dunia maya sama di sana, ada kaitannya. Dari dunia maya yang sangat masif, (situasi di lapangan) jeblok di sana," jelas Dedi.
2. Konten hoaks didominasi dari medsos Twitter

Dedi mengatakan, konten hoaks itu juga diproduksi oleh pihak dari luar negeri. Namun, Dedi enggan membeberkan apa konten hoaks itu dan meminta awak media menanyakannya kepada pihak Kemenkominfo.
Dedi melanjutkan, sejak 27 Agustus hingga 1 September 2019, konten hoaks didominasi dari media sosial Twitter, diikuti Facebook.
"Kalau misalnya Twitter berarti bukan melibatkan golongan menengah ke bawah (atau) akar rumput. Kalau akar rumput, sudah redam ini. Berarti dia mainnya sudah golongan middle, sama-sama elite-elite, baik di dalam negeri dan luar negeri, yang mencoba untuk membakar itu lagi, berita hoaks itu," jelas Dedi.
Selain itu, pembatasan layanan internet menurut Dedi, tidak berdampak signifikan pada kegiatan sosial ekonomi di Papua.
"Lebih besar impact keamanan. Kerena keamanan itu menyangkut semuanya, sosial, ekonomi, politik budaya dan Kesatuan Negara Republik Indonesia. Jadi pertimbangan itu yang paling dominan," kata Dedi.
3. Update kasus Papua kedepannya akan disampaikan satu pintu

Jenderal bintang satu itu menambahkan, untuk meng-update perkembangan kasus kerusuhan di Papua, mulai pekan depan akan disampaikan secara satu pintu di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Hal itu, menurut Dedi, agar hasil yang disampaikan lebih komprehensif.
"Baik kepolisian, penegak keamanan dan penegakan hukum, dari TNI kemudian dari Kementerian Luar Negeri, Kominfo terkait masalah pembatasan akses dan dari Polhukam sendiri, yang akan menyampaikan dengan perspektif yang lebih luas," tuturnya.
Diketahui, rangkaian aksi massa terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat. Aksi ini, sebagai bentuk protes atas insiden rasialisme terhadap kelompok mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, pada 16 Agustus lalu.
Aksi massa juga digelar di seberang Istana Negara dengan disertai pengibaran bendera Bintang Kejora, pada Rabu (28/8) lalu.