Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tuai Penolakan, Kebijakan KRIS Dinilai akan Rugikan Pekerja

Ilustrasi ruang ruang rawat inap rumah sakit.pexels

Jakarta, IDN Times — Rencana pemerintah menerapkan kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada Program JKN secara menyeluruh pada 1 Juli 2025 menuai penolakan dari berbagai elemen pekerja. Kebijakan ini dinilai bukan hanya cacat secara partisipatif, tapi juga berpotensi melanggar hak konstitusional rakyat atas layanan kesehatan yang layak.

Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip menyampaikan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya kebijakan KRIS ini tidak lebih dari bentuk penyederhanaan administratif yang justru menyamakan ketimpangan layanan, yang sebelumnya bisa memilih layanan rawat inap sesuai kemampuan iuran, kini dipukul rata tanpa pilihan.

“Pemerintah mencoba membungkus agenda penghapusan kelas 1, 2, dan 3 dengan narasi peningkatan mutu. Padahal, tidak ada satu pasal pun dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 yang secara tegas menyebut penghapusan kelas rawat inap,” ucap Saepul.

1. Perumusan kebijakan KRIS dinilai tak melibatkan masyarakat

ilustrasi bekerja (vecteezy.com/Titiwoot Weerawong)

Saepul menilai bahwa kebijakan KRIS disusun tanpa melibatkan pihak-pihak yang paling terdampak, seperti pekerja dan buruh. Menurutnya, setiap pekerja juga membayar iuran rutin, sebesar satu persen dari gaji yang dipotong tiap bulan, serta 4 persen yang dibayarkan oleh perusahaan. Tapi, saat kebijakan menyangkut hak peserta JKN dirumuskan, tidak melibatkan masyarakat.

“Sudah akses sulit dan pelayanan makin terbatas, pasti akan menciptakan krisis baru dalam sistem JKN. Bukan memperbaiki, tapi merusak karena penerapan KRIS dapat mempersempit akses layanan karena jumlah tempat tidur akan dikurangi. Hal ini dikhawatirkan bertentangan dengan amanat Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan layanan kesehatan yang layak,” katanya.

Selain itu, Saepul menuntut pemerintah segera merevisi Pasal 103B ayat (1) Perpres Nomor 59 Tahun 2024 yang menetapkan tenggat penerapan KRIS hingga 30 Juni 2025. Menurutnya pemerintah terus bergerak seolah semua baik-baik saja.

“Kami serikat pekerja siap duduk bersama, tapi kalau tetap diabaikan, kami akan ambil langkah yang lebih besar. Kami tidak anti perubahan. Tapi perubahan harus berdasar, adil, dan melibatkan rakyat. KRIS dalam bentuk saat ini bukan reformasi layanan, tapi bentuk baru ketimpangan yang dilembagakan oleh negara,” terangnya.

2. KRIS dianggap sudah bermasalah

ilustrasi seorang pekerja (pixabay.com/sahinsezerdincer)

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menegaskan bahwa sejak awal, KRIS sudah bermasalah secara fundamental karena penyusunannya tidak melibatkan masyarakat. Menurutnya, sangat bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan partisipasi publik.

“Dalam pembahasannya, tidak ada konsultasi atau melibatkan serikat pekerja atau buruh. Jelas hal dari awal kebijakan ini sudah cacat secara prosedural,” ujar Timboel.

Timboel juga mengungkap bahwa Kementerian Kesehatan sendiri mengakui bahwa penerapan KRIS akan menyebabkan penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit. Hal ini sangat kontraproduktif dengan tujuan memperluas akses layanan JKN.

“Sudah akses rawat inap sekarang saja masih sulit, bagaimana nanti kalau kapasitasnya dikurangi? Selain itu, beban biaya pribadi (out of pocket) peserta JKN akan semakin tinggi karena peserta JKN dipaksa naik kelas akibat kamar di rumah sakit penuh dan harus membayar sendiri,” ucapnya.

3. Harapan akan implementasi KRIS

ilustrasi pasien (freepik.com/freepik)

Timboel menyoroti KRIS akan menghilangkan esensi gotong royong dalam JKN dan memaksa rakyat miskin menjadi pasien umum.

“Kalau akhirnya harus bayar sendiri, lalu buat apa jadi peserta JKN? Pemerintah seharusnya memastikan masyarakat tidak kesulitan saat mengakses layanan kesehatan,” tutur Timboel.

Timboel juga menambahkan, dengan menjadi peserta JKN semestinya memberikan jaminan terhadap perlindungan jaminan kesehatan, bukan justru memperbesar risiko pengeluaran keuangan akibat tingginya beban biaya tambahan, dan pelayanan di rumah sakit yang tidak optimal.

“Kami harap pemerintah tidak terburu-buru dalam memutuskan implementasi KRIS, dan membuka ruang diskusi dengan seluruh pemangku kepentingan. Tanpa itu, KRIS hanya akan menjadi simbol baru ketimpangan yang diciptakan sendiri oleh negara,” tutup Timboel. (WEB)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ezri Tri Suro
Cynthia Kirana Dewi
Ezri Tri Suro
EditorEzri Tri Suro
Follow Us