Kemenkes: Penolakan RUU Kesehatan Hambat Perlindungan Hukum Nakes

Jakarta, IDN Times - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang dibahas DPR dan pemerintah berpotensi menghambat kebutuhan terhadap pelindungan hukum yang kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan, pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan sudah ada di undang-undang yang berlaku saat ini. Namun tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara serta berinisiatif untuk memperbaikinya setelah berlaku hampir 20 tahun.
“DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada sehingga pasal-pasal terkait pelindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini," ujar Syahril dalam keterangan tertulis, Jumat (12/5/2/23).
"Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu. Yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes,” kata Syahril.
1. Kemenkes pertanyakan tak inisiatif dari dulu

Syahril mempertanyakan mengapa masalah perlindungan hukum tersebut tidak inisiatif diubah sejak dulu.
“Jadi, kalau memang kekhawatirannya masalah pelindungan hukum, kenapa tidak dari dulu sih organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?” kata Syahril.
2. RUU Kesehatan dianggap bermasalah merupakan aturan lama

Salah satu usulan peraturan dalam RUU Kesehatan yang dianggap bermasalah oleh organisasi profesi adalah situasi tentang dokter yang dapat digugat secara pidana atau perdata meskipun sudah menjalani sidang disiplin.
"Padahal aturan tersebut adalah aturan lama yang sudah berlaku di UU Praktik Kedokteran 29/2004 saat ini," katanya.
Dalam Pasal 66 Ayat 1 UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran, maka dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Lebih lanjut, dalam Ayat 3 menyatakan, pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
3. Pasal-pasal RUU Kesehatan masih tahap pembahasan DPR

Menurut Syahril, pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tersebut masih dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki.
"Ada beberapa usulan baru pasal terkait dalam RUU Kesehatan di luar pasal-pasal pelindungan hukum yang sudah berlaku saat ini," katanya.
Syahril mengatakan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan (Pasal 322 ayat 4 DIM Pemerintah) Anti-perundungan (anti-bullying).
4. Tenaga medis dan kesehatan dapat menghentikan pelayanan

Syahril menegaskan, tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya. Termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan sebagaimana Pasal 282 DIM Pemerintah.
Pelindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan juga tertuang dalam Pasal 208E Ayat 1 huruf d DIM Pemerintah.
RUU Kesehatan juga menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum. Dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan sebagaimana Pasal 208E Ayat 1 huruf a DIM Pemerintah.
Sementara, untuk proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat, tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 408 Ayat 1 DIM Pemerintah.
“DPR dan pemerintah masih membahas pasal pelindungan hukum dan mengundang masukan dari publik. Meminta proses pembahasan RUU Kesehatan untuk distop bukanlah solusi. Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah pelindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” ujar Syahril.