Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Belajar dari Kisah Sukses Leonika Sari, CEO dan Founder Reblood

CEO REBLOOD. Leonika Sari yang mendirikan startup Reblood di usia 22 tahun. Foto dari dokumentasi pribadi

JAKARTA, Indonesia —Saat banyak rekan seusianya masih memikirkan memulai karier yang tepat, Leonika Sari sudah jadi pendiri startup bernama Reblood, sebuah aplikasi yang membantu masyarakat untuk donor darah lebih mudah dan memberikan informasi yang dapat diakses secara mudah melalui online platform.

Saat mendirikan Reblood tahun 2015, usia Leonika baru memasuki 22 tahun dan masih aktif berkuliah di jurusan Sistem Informasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Saat sedang menempuh perkuliahan pula, ia sempat menjalani masa pelatihan di bawah program MITx yang digagas Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS, di tahun 2014.

Gadis kelahiran Surabaya, 18 Agustus 1993 ini tahu betul apa yang diinginkannya di usianya yang masih tergolong  belia. Ia sangat mencintai segala hal yang berkaitan dengan teknologi sistem informasi. Ia fokus dan konsisten bergelut di dunia itu. Meski sempat beberapa kali gagal membangun startup, Leonika tidak menyerah.

Dan kini, tak lama setelah Reblood lahir, nama Leonika sudah dikenal banyak pihak, terutama di kalangan dunia start up dan donor darah. Bahkan namanya pernah masuk ke daftar Forbes 30 Under 30 Asia tahun 2016 lalu.

Seperti apa kisah sukses Leonika Sari? Dan apa saja yang ingin ia bagikan pada generasi muda yang memiliki mimpi meraih kesuksesan seperti dirinya? Simak perbincangan Rappler dengan Leonika berikut ini.

Bagaimana sampai Anda bisa ikut program MITx?

Sebenarnya, saat tahun 2014 ke MIT, saya sedang menjalani startup bootcamp selama 5 hari saja. Awalnya saya coba apply secara online melalui bootcamp.mit.edu, lalu menjalani proses seleksi, dan akhirnya diterima sebagai salah satu dari 50 peserta. 

Selama menjalani program, saya belajar banyak tentang pentingnya pernanan tim dalam membangun startup dan bagaimana merancang produk berdasarkan "kacamata" atau sudut pandang dari user/customer

Apa yang melatarbelakangi Anda mendirikan Reblood?

Permasalahan yang sedang dihadapi saat ini adalah Indonesia mengalami kekurangan 1 juta kantong darah setiap tahunnya. Di saat jumlah penduduk kita semakin meningkat hingga lebih dari 250 juta orang. Hal ini yang mendasari tim Reblood untuk membangun aplikasi donor darah ini.

Seperti apa cara kerja Reblood?

Aplikasi Reblood membantu masyarakat untuk donor darah lebih mudah dan memberikan informasi yang dapat diakses secara mudah melalui online platform. Fitur yang ditawarkan antara lain: Cek jadwal kegiatan donor darah PMI, dan mendaftar secara online. Mendapatkan reminder rutin untuk donor setiap 75 hari, memantau track record donor darah, membaca informasi penting seperti syarat dan tip donor darah dan pengguna juga bisa mendapatkan reward menarik pada season tertentu.

Apa saja kegagalan atau halangan yang Anda temui dalam proses membangun dan menjalankan Reblood hingga kini?

Awalnya pada tahun 2013, saya tergabung dalam tim yang membangun sistem informasi untuk PMI dan rumah sakit, yang bernama Blood Bank Information System (BloobIS). Namun, sistem ini tidak berhasil dalam pembangunan dan implementasinya, dikarenakan fokus aplikasi yang tidak solutif dan komitmen anggota tim yang tidak maksimal, serta berakhir pada bubarnya 5 anggota tim lain, hingga tersisa saya sendiri.

Pada 2015, akhirnya saya bersama rekan-rekan yang baru membangun sistem baru dari awal yang berfokus pada pendonor darah, yang kami namakan Reblood.

Seperti apa rasanya bisa masuk ke Forbes 30 Under 30 Asia tahun 2016 lalu?

Pada akhir 2015, saya dikontak oleh editor Forbes Asia untuk dinominasikan pada list tersebut. Namun saya pikir saya tidak akan lolos, mengingat Reblood baru launching sekitar September 2015 dan banyak sosok yang lebih baik di luar sana.

Saya kaget pada saat pengumuman list tersebut. Rasanya senang, tapi di saat yang sama juga semakin terdorong untuk bikin Reblood lebih baik.

Dari Forbes 30 Under 30 Asia, saya dapat bertemu dengan anak muda lainnya yang masuk ke dalam list itu, saat summit yang diadakan di Singapura pada tahun 2016. Banyak banget rekan-rekan yang sangat inspiratif, dan bahkan punya pencapaian dan dampak yang luar biasa meski di usia muda.

Menurut Anda, apa sebenarnya yang harus dikerjakan pemerintah untuk mengatasi kekurangan stok darah?

Menurut saya, proses donor darah ini sebaiknya bisa dilakukan dengan lebih banyak tenaga ahli dan lokasi, dengan tujuan untuk mendapatkan lebih banyak pendonor baru melalui tersedianya akses untuk donor darah di lebih banyak.

Apa kunci kesuksesan Reblood? Apa yang membuat Reblood beda dari startup lainnya di Tanah Air?

Reblood memulai dari permasalahan real yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya menemukan permasalahan besar, tapi kita juga memvalidasi penyebab dari permasalahan kekurangan donor ini. Sebenarnya, sudah ada banyak aplikasi donor darah yang beredar di Play Store, namun kebanyakan aplikasi kurang melihat dari "kacamata" user, sehingga kebanyakan aplikasi lain hanya berfokus untuk menemukan pendonor saat emergency, sedangkan lebih dari 50% calon pendonor ditolak saat tes kesehatan karena tidak siap.

Hal ini yang membuat Reblood melakukan strategi yang berbeda, di mana kami ingin donor darah dilakukan secara rutin dan benar-benar dipersiapkan, bukan hanya saat terjadi emergency saja.

Bagaimana Anda secara pribadi merangkul kesuksesan yang Anda terima di usia yang masih sangat muda?

Sebenarnya masih banyak yang harus saya pelajari dan tingkatkan dalam membangun Reblood, apalagi saat ini masih terfokus di Surabaya, dan baru memulai di DKI Jakarta.

Fokus Reblood pada tahun 2018 ini ada di DKI Jakarta, lalu mulai ke skala yang lebih luas seperti ke 10 kota besar lainnya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, hingga menjangkau lebih banyak daerah se-Indonesia.

Kira-kira apa masukan dari Anda bagi para anak muda yang mungkin memiliki mimpi serupa, berkarier di dunia IT dan memiliki startup mereka sendiri?

Mulai untuk berani mencoba hal terbaru, dan tidak terhalangi oleh stereotype yang beredar di eksternal. Kadang rasa enggan untuk mencoba datang dari keraguan diri sendiri yang akhirnya menjadi "dinding" penghalang yang sebenarnya tidak ada. So, just be confident!

Saya berharap lebih banyak anak muda Indonesia yang bikin karya yang impactful, tapi juga sustainable.

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us