Koalisi Permanen Berpotensi Sandera Gerak Parpol Jelang Pilpres 2029

- Sejumlah parpol sangat bergantung pada fleksibilitas politik
- Parpol tidak leluasa menindaklanjuti dinamika elektoral
- Pemerintah dan DPR diminta pertimbangkan jangka panjang wacana koalisi permanen
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai wacana memasukkan konsep koalisi permanen ke dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu berpotensi menyandera langkah partai politik jauh sebelum Pilpres 2029.
Ia mengatakan, aturan tersebut dapat menyulitkan proses negosiasi antarpartai dalam menentukan posisi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
“Selama ini, ruang negosiasi capres dan cawapres berlangsung dinamis sampai detik terakhir karena partai menunggu hasil survei, peta dukungan, dan kalkulasi elektoral terbaru. Jika koalisi harus dipermanenkan sebelum pemilu, ruang tawar itu tertutup,” kata Arifki dalam keterangannya, Senin (15/12/2025).
1. Sejumlah parpol sangat bergantung pada fleksibilitas politik

Ia menjelaskan, partai seperti PDIP, NasDem, Demokrat, PKB, Golkar, dan PAN sangat bergantung pada fleksibilitas politik untuk menentukan pasangan yang paling menguntungkan. Dengan koalisi yang dikunci lebih awal, partai-partai tersebut kehilangan kemampuan mengubah formasi menjelang 2029.
“Penentuan capres–cawapres lebih sulit karena struktur koalisinya sudah ditetapkan. Partai tidak bisa lagi keluar-masuk poros sesuai kebutuhan atau menegosiasikan ulang komposisi pasangan,” ujarnya.
2. Parpol tidak leluasa menindaklanjuti dinamika elektoral

Menurut Arifki, aturan koalisi permanen dapat membuat partai tidak leluasa menindaklanjuti dinamika elektoral yang berlangsung cepat, termasuk perubahan elektabilitas kandidat dan pergeseran dukungan publik.
“Pada Pilpres 2024, konfigurasi koalisi berubah beberapa kali sebelum pendaftaran. Jika pola itu dihapus lewat regulasi, maka Pilpres 2029 bisa berjalan dengan pasangan yang terbentuk bukan karena dinamika elektoral, melainkan karena partai tidak punya pilihan lain,” katanya.
Ia menambahkan, koalisi yang dikunci terlalu awal juga berpotensi mengurangi kualitas kompetisi karena komposisi kandidat ditetapkan berdasarkan struktur koalisi, bukan hasil kontestasi gagasan atau pengaruh pemilih.
“Pemilu kehilangan fungsi korektifnya. Keputusan strategis bisa sudah dibuat bertahun-tahun sebelum rakyat memilih,” ujarnya.
3. Pemerintah dan DPR diminta pertimbangkan jangka panjang wacana koalisi permanen

Arifki lantas mendorong pemerintah dan DPR menimbang dampak jangka panjang dari wacana ini. Menurutnya, pengaturan koalisi tidak boleh menghilangkan mekanisme negosiasi yang selama ini menjadi bagian penting dari proses politik menuju pemilihan presiden.
“Pertimbangannya sederhana: apakah aturan ini membuat Pilpres 2029 lebih kompetitif, atau justru membuat proses pencalonan menjadi kaku karena partai kehilangan kemampuan menyesuaikan diri dengan kehendak publik,” imbuh dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, kembali mewacanakan koalisi permanen. Hal itu dia sampaikan pada puncak HUT ke-61 Partai Golkar yang juga dihadiri Presiden Prabowo Subianto hingga Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDIP, Puan Maharani.
"Partai Golkar berpandangan bahwa pemerintahan yang kuat butuh stabilitas. Lewat mimbar terhormat ini, izinkan kami menyampaikan saran, perlu dibuatkan koalisi permanen. Jangan koalisi on off-on off, jangan koalisi in out, jangan koalisi di sana senang, di sini senang, di mana-mana hatiku senang," ujar Bahlil di Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025).
"Sudah harus kita memiliki prinsip yang kuat untuk meletakkan kerangka koalisi yang benar. Kalau mau menderita bareng-bareng, kalau mau senang, senang bareng-bareng. Ini butuh gentlemen yang kuat," lanjut dia.
Bahlil menilai, sudah saatnya politik nasional didesain ulang. Menteri ESDM itu ingin sistem pemerintahan bangsa sesuai dengan UUD 1945.
"Oleh karena itu sistem kepartaian, sistem pemilu harus yang kompatibel dan mendukung sistem pemerintahan presidensial," ujar dia.
















