Mimpi Koalisi Permanen: Utopi atau Jalan Baru Berdemokrasi?

- Koalisi Permanen dinilai hanya khayalan yang sukar terwujud
- Dinamika Pilpres 2024, bukti koalisi tidak pernah permanen
- Partai harus mulai nyalakan sen politiknya
Jakarta, IDN Times - Semburat jingga mulai merambat dari arah barat di langit Senayan, Jakarta, pada Jumat, 5 Desember 2025. Malam pesta perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-61 Partai Golkar mulai dipenuhi sorot lampu dan warna kuning yang mendominasi di tengah riuh malam itu.
Presiden Prabowo Subianto, Ketua MPR RI Ahmad Muzani, Ketua DPR RI Puan Maharani, hingga deretan tokoh politik lain duduk berdampingan malam itu, mewakili tiga simbol kekuasaan di republik ini.
Di atas mimbar bebas, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia berorasi lebih dari dua puluh menit, membawa sebuah gagasan tentang arah politik nasional. Di hadapan Kepala Negara, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, ia menyatakan, sudah saatnya sistem politik nasional ditata ulang kembali. Sebuah sistem yang tidak hanya rapi dalam teori, tetapi kokoh.
"Partai Golkar berpandangan bahwa pemerintahan yang kuat butuh stabilitas. Lewat mimbar terhormat ini, izinkan kami menyampaikan saran, perlu dibuatkan koalisi permanen. Jangan koalisi on off on off, jangan koalisi in out, jangan koalisi di sana senang, di sini senang, di mana-mana hati ku senang," ujar Bahlil disambut riuh dan gemuruh tepuk tangan ribuan kader yang hadir di pesta malam itu.
Bagi Bahlil, sistem kepartaian dan pemilu harus menopang pemerintahan presidensial, bukan membuatnya terus-terusan berjalan di atas tali yang rapuh. Indonesia harus punya prinsip yang kuat untuk meletakkan kerangka koalisi yang benar.
"Kalau mau menderita bareng-bareng, kalau mau senang, senang bareng-bareng. Ini butuh gentlemen yang kuat," ujar dia.
Bahlil menilai, sudah saatnya politik nasional didesain ulang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu ingin sistem pemerintahan bangsa sesuai dengan UUD 1945.
"Oleh karena itu, sistem kepartaian, sistem pemilu, harus yang kompatibel dan mendukung sistem pemerintahan presidensial," ujarnya.
1. Koalisi Permanen hanya khayalan yang sukar terwujud

Dalam ruangan itu, tepuk tangan kembali terdengar. Mungkin sebagai tanda setuju, atau sekadar ungkapan apresiasi atas gagasan ini.
Koalisi Permanen kini masuk ruang diskursus politik Indonesia. Gayung bersambut, sebagian partai politik di parlemen menyambut baik gagasan itu. Sebagian lagi memilih enggan bersikap, berdalih tidak etis bicara politik di tengah situasi darurat bencana seperti hari ini.
Dalam konteks sistem multipartai ekstrem seperti Indonesia, ide tersebut ibarat jauh panggang dari api. Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menyebut gagasan itu cenderung bersifat utopis, karena tak sejalan dengan dinamika politik yang sangat cair. Karakter politik Indonesia membuat koalisi sulit bersifat ajeg.
Ia memetakan dinamika politik elektoral dalam tiga fase: koalisi pra Pilpres, koalisi saat Pilpres, dan koalisi pasca-Pilpres. Ketiganya, terlalu dinamis sesuai kepentingan elite, situasi elektoral, dan kalkulasi kekuasaan para elite.
"Hari ini Pilpres ada penghapusan ambang batas, otomatis situasi yang berkembang semakin mengemuka semakin dinamis dan tidak bisa ditebak," kata Agung kepada IDN Times, Rabu (10/12/2025).
2. Dinamika 2024, bukti koalisi tidak pernah permanen

Pilpres 2024 menjadi contoh paling jelas betapa sulitnya membayangkan Koalisi Permanen. Agung mengingatkan bagaimana konfigurasi koalisi berubah-ubah secara drastis hanya dalam hitungan hari menjelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada fase awal, PKB dan Gerindra membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang dalam perjalanannya, Golkar dan PAN ikut merapat. Di sisi lain, NasDem, Demokrat, dan PKS merajut Koalisi Perubahan.
Namun, manuver tajam muncul ketika Muhaimin Iskandar alias Cak Imin tidak diakomodasi dalam koalisi itu. Akhirnya, Cak Imin dan PKB berpindah ke Koalisi Perubahan dan mengusung pasangan Anies Baswedan–Muhaimin (AMIN) pada Pilpres 2024.
Sementara, Partai Demokrat di bawah Komando Agus Harimurti Yudhoyono (AH) menarik diri dari Koalisi Perubahan, dan beralih mendukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengantarkan kemenangan bagi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Gagasan Koalisi Permanen sah-sah saja, tapi dinamika politik yang berkembang yang didesign elite politik kita, kemungkinan itu akan sangat kecil mengemuka,” kata dia.
Setelah Pilpres 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Prabowo–Gibran menang. Potret politik kembali berubah. PKB, NasDem, dan PKS, merapat ke dalam satu gerbong bernama Koalisi Indonesia Maju, menyisakan hanya PDIP sebagai oposisi tunggal.
"Harapannya koalisi yang dibangun koalisi substantif bukan hanya koalisi untuk kepentingan elite, karena kita tidak mau demokrasi kita dibajak, yang akhirnya membuat rakyat dikorbankan kembali," kata Agung.
3. Partai harus mulai nyalakan sen politiknya

Direktur Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengatakan bila wacana Koalisi Permanen benar-benar digulirkan, partai-partai pasti mulai menyalakan lampu sen politiknya. Kendati, keputusan untuk bergabung atau tidak ke pemerintahan sangat bergantung pada tawaran dan pilihan strategis masing-masing partai.
Di sisi lain, menurut Arifki, gaya politik Prabowo yang akomodatif memang memperluas jaringan dukungan, tetapi sekaligus melemahkan posisi tawar partai-partai pengusung awal.
"Karena semakin banyak partai yang mungkin masuk dalam orbit kekuasaan Prabowo, membuat pengaruh partai pengusung harus dibagi dengan aktor lain, sehingga politik menjelang 2029 juga bakal lebih dinamis," kata dia, Rabu (10/12/2025).
4. Koalisi Permanen perlu diatur dalam RUU Pemilu

Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN, Viva Yoga Mauladi, berpandangan Koalisi Permanen perlu dicermati matang-matang, karena menimbulkan konsekuensi politik serius. Penataan koalisi dalam sistem presidensial bukan hanya memperkokoh sistem pemerintahan, melainkan juga menjaga relasi antara eksekutif dan parlemen.
Menurut Viva, jika pasangan calon yang terpilih didukung partai politik yang memiliki kursi minoritas di DPR, akan terjadi potensi instabilitas politik, karena relasi lembaga eksekutif dan legislatif akan berada dalam tensi dan dinamika tinggi.
"Besar kemungkinan presiden terpilih akan mengalami sandera politik oleh DPR, karena hanya memiliki kekuatan minoritas. Jika hal itu terjadi, maka pemerintah tidak akan dapat bekerja maksimal untuk merealisasikan visi dan janji-janji politik saat kampanye," kata dia kepada IDN Times, Sabtu 6 Desember 2025.
Kendati, asumsi itu bisa salah jika pasangan calon terpilih mendapat dukungan mayoritas di parlemen.
"Sejak Pemilu 1999, siapapun presidennya dipastikan akan berusaha membangun kekuatan mayoritas di DPR. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan presidential threshold sudah tidak ada lagi, maka prediksi di Pilpres 2029 akan memunculkan banyak paslon," kata Wamen Transmigrasi itu.
Ia sepakat dengan usulan Bahlil, tetapi harus masuk salah satu klausul dalam RUU Pemilu yang akan digarap DPR tahun depan. Menurut dia, usulan Bahlil patut diapresiasi dalam meletakkan fondasi untuk membangun sistem presidensial Indonesia ke depan dengan multipartai.
Namun, Viva menunggu jadwal revisi UU Pemilu melalui sistem kodifikasi yakni UU Pilpres; UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilihan Anggota DPR, DPD; DPRD Provinsi, Kabupaten/ Kota.
"Jika Koalisi Permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, maka harus masuk di pasal di UU Pemilu. Jika itu terjadi, maka PAN satu pemikiran dengan Golkar," kata Viva.
5. Koalisi Permenan hanya cenderung kepentingan pribadi

Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareira, mengatakan Indonesia yang menganut sistem presidensial tak kenal konsep koalisi, melainkan kerja sama antarpartai untuk mendukung pemerintahan presiden pemenang Pilpres 2024. Koalisi hanya terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer.
Artinya, partai berada di kabinet atau di luar kabinet. Sementara pemerintahan merupakan platform politik yang sudah disusun dan dikampanyekan presiden, bukan platform politik partai-partai yang menterinya ikut di kabinet.
Ia pun menilai usul pembentukan koalisi permanen terlalu mengada-ada karena cenderung bersifat kepentingan pribadi.
"Usulan seperti ini mengada-ada tidak sesuai dengan realita politik, cenderung lebih bersifat kepentingan pribadi," kata Andreas saat dihubungi IDN Times, Selasa (9/12/2025).

















