KontraS: Upaya Hapus Hukuman Mati di Indonesia Masih Terjal

Jakarta, IDN Times - Hari Internasional Menentang Hukuman Mati diperingati setiap 10 Oktober. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengeluarkan laporan kondisi penerapan hukuman mati pada Oktober 2022 hingga September 2023.
KontraS melihat upaya penghapusan hukuman mati di Indonesia masih sulit, meski sudah ada pembaharuan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi terbaru.
“Setidaknya dalam periode ini kami menyoroti upaya penghapusan hukuman mati yang masih menghadapi jalan terjal, meskipun Indonesia telah memberikan terobosan mengenai pembaruan kebijakan hukuman mati yang dihadirkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam keterangannya, Rabu (11/10/2023).
KontraS menemukan, setidaknya terdapat 27 vonis hukuman mati yang dijatuhkan, yang terdiri dari 18 vonis merupakan tindak pidana narkotika, tujuh vonis untuk tindak pidana pembunuhan berencana, dan dua vonis lainnya merupakan tindak kekerasan seksual.
1. Hukuman mati banyak dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri

KontraS melihat, Pengadilan Negeri jadi lembaga peradilan yang kerap menjatuhkan vonis hukuman mati. Ada 20 vonis mati yang dikeluarkan Pengadilan Negeri, kemudian tiga dijatuhkan Pengadilan Tinggi, dan empat lewat Mahkamah Agung.
“Berdasarkan data tersebut, kami menilai bahwa pemerintah Indonesia masih pasif dalam menyikapi tren global yang secara jelas telah menunjukkan penurunan vonis hukuman mati, meskipun saat ini pemerintah telah memiliki terobosan terbaru terkait pembaruan kebijakan hukuman mati,” kata Dimas.
2. Hukuman mati menimbulkan banyak dampak, baik fisik maupun psikologis

KontraS menilai, pemerintah gagal melihat masalah hukuman mati secara struktural dan tetap memilih menjatuhkan hukuman mati, yang dianggap menjadi jalan pintas penanganan kasus kejahatan.
Dimas mengungkapkan, perlu ada evaluasi terkait efektivitas dan tepat sasarannya hukuman mati di Indonesia.
Hukuman mati juga dilihat sebagai praktik penyiksaan. Karena proses penjatuhan hukuman mati turut menimbulkan berbagai dampak, baik secara fisik maupun psikologis.
Salah satu bentuk penyiksaan terhadap terpidana hukuman mati yang tidak disadari adalah death row phenomenon atau fenomena deret tunggu. Fenomena deret tunggu, kata KontraS, meliputi tiga komponen, yakni lamanya waktu yang dihabiskan di dalam tahanan, tingkat keparahan kondisi yang dihadapi oleh narapidana, dan efek psikologis yang timbul dari individu yang berada dalam fenomena deret tunggu.
3. Penjatuhan hukuman mati bagian dari penal populism

Indonesia masuk dalam daftar 55 negara yang masih mempertahankan pidana mati, dan menjatuhkan vonis itu pada terdakwa. Dalam laporan yang diluncurkan KontraS, praktik penjatuhan hukuman mati adalah bagian dari penal populism atau hanya untuk menyenangkan masyarakat saja.
Contohnya terjadi dalam kasus kematian Brigadir Josua Hutabarat dan kasus pemerkosaan belasan santri oleh Herry Wirawan.
“Kami melihat bahwa saat ini, penjatuhan vonis hukuman mati terhadap sejumlah kejahatan nyatanya hanya untuk ‘memuaskan’ masyarakat dalam jangka waktu sesaat saja. Kami melihat bahwa melawan narasi populisme harus digarisbawahi, bukan berarti melegitimasi atau mendukung tindakan kejahatannya, sebab narasi tersebut selalu disimplifikasi oleh para retensioni,” kata Dimas.