KPAI Soroti Kasus Familicide, Anak-Anak Jadi Korban Rentan

- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti peningkatan kasus familicide yang melibatkan pembunuhan terhadap pasangan hidup dan anak-anak dalam satu keluarga.
- Tekanan ekonomi yang berat, utang dari pinjaman online, depresi, dan perasaan gagal menjadi pemicu utama kasus familicide, membuat individu merasa putus asa.
- Anak-anak yang menjadi korban dalam kasus familicide menjadi pihak yang paling rentan karena tidak memiliki daya untuk melawan dominasi orang tua.
Jakarta, IDN Times - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti peningkatan kasus familicide yang melibatkan pembunuhan terhadap pasangan hidup dan anak-anak di dalam satu keluarga. Pembunuhan ini dikategorikan sebagai mass murder karena melibatkan beberapa korban dalam satu waktu.
Kasus ini sering kali dipicu tekanan ekonomi yang berat, terutama yang dialami kepala keluarga laki-laki. Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster Kekerasan Fisik dan/atau Psikis, Diyah Puspitarini, mengungkapkan hilangnya kendali dalam menghadapi kesulitan ekonomi sering kali menyebabkan individu merasa putus asa, bahkan memilih mengakhiri hidup bersama anggota keluarganya.
"Hilangnya kontrol atas kestabilan ekonomi rumah tangga membuat individu merasa kehilangan identitas, harga diri, dan kemampuan untuk memenuhi ekspektasi sebagai “pemimpin keluarga.” Situasi ini menciptakan rasa putus asa yang mendalam, sehingga pelaku cenderung berpikir bahwa satu-satunya solusi adalah mengakhiri hidup bersama anggota keluarga. Diyah Puspitarini dalam keterangannya, Rabu (18/12/2024).
1. Faktor mental dan emosional memperburuk situasi
Diyah menjelaskan tekanan utang, terutama utang dari pinjaman online, kerap menjadi pemicu utama. Beban bunga yang tinggi dan penagihan yang agresif membuat kepala keluarga merasa terpojok dan tidak mampu mencari solusi lain. Diyah menambahkan, tidak hanya masalah ekonomi, tetapi faktor mental dan emosional seperti depresi dan perasaan gagal turut memperburuk situasi ini.
"Depresi, perasaan gagal, dan ketidakmampuan untuk mencari bantuan menjadi pemicu bertambahnya risiko," katanya.
2. Anak-anak jadi korban, tak bisa lawan dominasi orang tua

Kemudian hal yang paling tragis, kata Diyah, adalah anak-anak yang menjadi korban dalam kasus familicide ini. Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru menjadi pihak yang paling rentan dalam situasi ini. Menurutnya, anak-anak tidak memiliki daya untuk melawan dominasi orang tua, apalagi jika usianya masih sangat muda.
"Pada anak-anak usia remaja, terkadang ada upaya perlawanan, tetapi dominasi fisik dan psikologis dari orang tua membuat usaha tersebut jarang berhasil," katanya.
3. Pentingnya membangun kepedulian sosial di tengah masyarakat

Dengan perhatian serius dari pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan keluarga besar, diharapkan kejadian serupa dapat dicegah di masa mendatang. Semua pihak, kata Diyah, harus bergerak bersama untuk memastikan keluarga yang tengah mengalami kesulitan tidak merasa sendirian dan menemukan solusi yang lebih manusiawi.
"Kasus familicide menekankan pentingnya membangun kepedulian sosial di tengah masyarakat. Keluarga besar, tetangga, dan pihak berwenang harus lebih peka terhadap perubahan mencurigakan dalam keluarga di sekitar mereka. Intervensi dini dapat mencegah tragedi, menyelamatkan nyawa, dan memutus rantai kekerasan dalam keluarga," katanya.
Dia juga mengatakan, fenomena familicide jadi peringatan serius bahaya tekanan ekonomi dan gangguan mental yang tidak tertangani. Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa, namun juga meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga yang tersisa, termasuk anak-anak yang berpotensi jadi korban.
Kesehatan mental bukan perihal sepele
Jika kamu mengalami atau mengetahui seseorang mengalami gejala depresi, menyakiti diri atau pemikiran untuk bunuh diri, segera cari bantuan profesional. Hubungi psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental terdekat.
Layanan darurat Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN RSJMM) D’Patens24: 081197910000 (telepon hotline 24 Jam) dan 081380073120 (WhatsApp, Senin - Jumat 08.00 - 16.00 WIB).
Layanan konseling telepon juga tersedia di RS Jiwa rujukan:
RSJ Amino Gondohutomo Semarang: - UGD 24 Jam 024-6731543,
- Konsul jiwa gratis 24 jam : 0821 3000 3400 (call)
- Konsul jiwa gratis 5 hari kerja jam 09.00–15.00 WIB : 0821-3758-0805 (chat)
RSJ Marzoeki Mahdi Bogor: (0251) 8324024, 8324025
RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta: (021) 5682841
RSJ Prof Dr Soerojo Magelang: (0293) 363601
RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang: (0341) 426015, 429067
Temukan bantuan kesehatan jiwa di rumah sakit umum, Puskesmas, biro psikologi, atau online. Komunitas swadaya di Indonesia juga menyediakan layanan konseling dan support group online sebagai alternatif untuk pencegahan bunuh diri dan dukungan dalam mengatasi gangguan kejiwaan.