Menilik Peradilan Anak dalam Kasus Pidana

Jakarta, IDN Times - Tersangka kasus dugaan pembunuhan terhadap ayah dan neneknya di Cilandak, Jakarta Selatan, MAS ditetapkan sebagai tersangka. Bocah 14 tahun itu juga berupaya menyakiti ibu kandungnya, hingga kini sang ibu masih dirawat di rumah sakit.
MAS kini masih menjalani asesmen ahli psikologi anak dari APSIFOR. Dia akan ditahan di Lembaga Penitipan Anak, Kementerian Sosial (Kemensos). Pelaksana Harian (Plh) Kepala Seksi Humas Polres Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi, mengatakan polisi telah menetapkan MAS sebagai tersangka.
“Iya tersangka Pasal 338 Subsider Pasal 351,” kata Nurma saat dihubungi, Senin (2/12/2024).
Dalam kasus ini, polisi juga menjelaskan ada aturan yang diterapkan, yakni sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
"Yang penting dalam penyidikan ini, kita melakukan hukum ini menggunakan aturan peradilan anak seperti yang diatur dari menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Anak," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Ade Rahmat Idnal.
1. Beleid ini cakup seluruh proses peradilan anak

UU SPPA Nomor 11 Tahun 2012 adalah landasan hukum di Indonesia yang mengatur bagaimana proses peradilan pidana bagi anak harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, menjamin perlindungan hak-haknya, dan mendorong pemulihan anak yang berhadapan dengan hukum.
UU SPPA menekankan pentingnya perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini termuat dalam Pasal 1 ayat 2, anak yang dimaksud adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, baik itu anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban atau anak saksi.
Dalam Pasal 1 ayat 1 juga dijelaskan penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dalam beleid ini mencakup dari tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan usai menjalani pidana.
2. Wajib diupayakan adanya diversi

Dalam UU SPPA wajib dilakukan upata diversi, atau mencari solusi alternatif di luar jalur peradilan anak atau lewat pendekatan keadilan restoratif.
Diversi bertujuan untuk mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke penyelesaian secara informal, dengan melibatkan keluarga, masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Diversi penting untuk menghindari stigma sosial dan memulihkan anak secara lebih baik.
Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
3. Sanksi yang tidak memberatkan

Kemudian dalam Pasal 71-72 mengatur soal sanksi atau hukuman terhadap anak yang harus dihukum berupa pembinaan dan rehabilitasi, bukan hanya hukuman penjara. Pembinaan ini lebih difokuskan pada upaya pemulihan anak, seperti melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan.
Bahkan, ada ketentuan bahwa anak harus ikut wajib belajar sembilan tahun selama menjalani pidana dengan syarat khusus.
Anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan secara berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Misalnya, dalam hal penahanan, anak tidak boleh ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang sama dengan orang dewasa, dan sebaiknya ditempatkan di lembaga yang khusus untuk anak-anak.
4. Pendampingan hukum pada anak dan identitas yang dirahasiakan

Anak yang berhadapan dengan hukum juga berhak mendapatkan pendampingan hukum. Anak berhak didampingi penasihat hukum sepanjang proses peradilan berjalan. Pendampingan ini bertujuan agar hak-hak anak terlindungi selama proses hukum.
Dalam Pasal 19 juga dijelaskan identitas anak, anak korban, dan atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau pun elektronik. Identitas ini meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.