Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menko Hadi: Penghapusan soal Larangan Bisnis bagi TNI Masih Dibahas

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto ketika meninjau lokasi pembangunan tempat PON XXI yang bakal digelar 8-20 September 2024. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)
Intinya sih...
  • Menteri Koordinator Hadi Tjahjanto mengatakan penghapusan Pasal 39c masih dalam pembahasan
  • Dibahas dua pasal utama untuk diubah: Pasal 53 (usia pensiun) dan Pasal 47 (prajurit aktif menduduki jabatan di instansi sipil)
  • Pihak TNI mengusulkan agar prajurit boleh berbisnis sebagai pekerjaan sampingan, tetapi menuai pro dan kontra

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto mengatakan, penghapusan Pasal 39 huruf c di dalam revisi UU TNI masih dalam pembahasan. Pasal itu berisi larangan bagi prajurit TNI untuk terlibat dalam kegiatan bisnis. Usulan itu disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum di Mabes TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, di acara dengar pendapat mengenai revisi UU TNI. 

"Terkait dengan (penghapusan larangan) kegiatan bisnis, itu masih terus dibahas," ujar Hadi ketika dikonfirmasi, Kamis (18/7/2024). 

Ia mengatakan, sejauh ini di dalam revisi UU TNI, masih dibahas dua pasal utama untuk diubah. Pertama, Pasal 53 mengenai usia pensiun yang direncanakan bakal ditambah. Kedua, Pasal 47 soal prajurit aktif yang dibolehkan untuk lebih luas menduduki jabatan di instansi sipil. 

Mantan Panglima TNI itu tak menampik ada usulan dari Mabes TNI agar ada pembahasan pasal lainnya. "TNI juga mengirimkan kepada Kemenko Polhukam agar bisa menambahkan pasal-pasal lain," katanya. 

Sementara, Laksda Kresno pun menyadari pembahasan mengenai Pasal 39 huruf c akan mengundang kontroversi. Tetapi, menurutnya hal tersebut penting untuk dibahas. 

1. Prajurit yang dibolehkan berbisnis dalam konteks untuk membantu ekonomi keluarga

Kababinkum TNI, Laksamana Muda, Kresno Bintoro. (Dokumentasi Puspen TNI)

Lebih lanjut, Laksda Kresno mengatakan, prajurit TNI boleh berbisnis dalam konteks pekerjaan sampingan yang mereka lakukan selepas jam kerja atau di akhir pekan. Tujuan aktivitas bisnis itu untuk membantu perekonomian keluarga. 

"Kalau yang dikhawatirkan adalah bisnis dalam konteks besar, contohnya anggota TNI tidak masuk kerja karena melakukan bisnis, bukan seperti itu. Sebetulnya, konteks bisnis itu dilakukan sehabis kerja atau libur. Contoh di hari Sabtu dan Minggu," ujar Kresno kepada media pada Kamis kemarin. 

Ia meminta publik agar tidak membayangkan bila larangan berbisnis bagi prajurit TNI dihapus, maka mereka bisa ikut terlibat dalam aktivitas perusahaan terbatas (PT). 

"Di dalam sistem kegiatan dinas TNI sudah jelas, masuk jam 07.00 pulang jam 16.00 atau jam 15.00. Ada sistemnya. Jadi, tidak mungkin kegiatan bisnis TNI ini berakibat pada profesionalisme," katanya.

Menurutnya, usulan penghapusan larangan prajurit TNI berbisnis diklaim datang dari prajurit pangkat bawah. Lalu, coba diakomodir oleh pimpinan.

"Karena kenyataannya di lapangan seperti itu," imbuhnya. 

2. Mabes TNI belum menentukan batasan aktivitas bisnis

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto ketika menerima laporan korps kenaikan pangkat di Mabes TNI. (Dokumentasi Puspen TNI)

Laksda Kresno juga menyebut, pihaknya belum membuat batasan usaha bisnis apa saja yang boleh dilakoni oleh prajurit TNI di dalam revisi UU TNI. Namun, aktivitas bisnis yang dilakukan oleh prajurit TNI berpangkat rendah adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). 

"Jadi, nominalnya sangat kecil. Saya kira UMKM juga mendukung program pemerintah," katanya. 

Ia kemudian memberikan contoh sopirnya. Setelah melakukan pekerjaan sesuai jam dinas, sopir Kresno melakukan aktivitas lain. 

"Setelah saya cek Take Home Pay (THP) hanya sekitar Rp2 jutaan. Tapi, THP yang dibawa pulang ke rumah sekitar Rp4 jutaan. Dengan hidup di Jakarta, satu istri dan anak, bagaimana dia mencukupi kebutuhan itu?" tanyanya. 

Sementara, menurut anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, usulan prajurit TNI boleh berbisnis disampaikan oleh perwira tinggi TNI, jenderal bintang dua dalam sebuah rapat di TNI.

"(Jenderal) bintang dua, kalau gak salah ngomong," ujar TB Hasanuddin kepada media pada 15 Juli 2024 di Jakarta.

Jenderal bintang dua itu, kata dia, memberikan contoh istrinya yang membuka warung di asrama. Menurut pandangan orang, hal tersebut sudah masuk dalam kategori berbisnis.

"Pendapat saya, kalau itu tidak termasuk bisnis dalam konteks bisnis besar yang berpengaruh terhadap tupoksi dan waktunya, itu kan (dilakukan) di rumah. Toh yang melakukan istrinya," kata politisi PDI Perjuangan itu.

TB Hasanuddin memperkirakan, perputaran uang dari warung yang dibuka keluarga perwira tinggi TNI itu sekitar Rp300-400 ribu sehari.

3. Prajurit TNI berpotensi jadi pelindung entitas bisnis dan tak fokus ke isu pertahanan

Ilustrasi prajurit TNI. (IDN Times/M.Idris)

Sementara, usulan agar larangan bagi prajurit TNI berbisnis dihapus menimbulkan pro dan kontra. Peneliti HAM dan Sektor Keagamaan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie menjelaskan, keterlibatan prajurit TNI dalam usaha warung kelontong milik keluarga, tidak sama dengan larangan bisnis yang tercakup dalam Pasal 39 UU TNI.

Sebab, dalam usaha kelontong itu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut atau aspek keprajuritan lainnya seperti kewenangan komando.

"Hal itu berbeda konteks dengan yang ada di norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, dan menjauhkan TNI dari profesionalitas," ujar Ikhsan di dalam keterangan tertulis pada 16 Juli 2024 lalu.

Bahkan, kata Ikhsan, usulan itu bila diakomodasi dalam pembahasan di parlemen, bisa menimbulkan praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi pelindung entitas bisnis.

"Justru yang dibutuhkan dalam perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci, mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud. Misalnya, diberikan keterangan penjelasan pasal tersebut bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI," katanya. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Sunariyah
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us