TNI Usul Larangan Berbisnis Dihapus, KSAD Imbau Publik Tak Khawatir

- Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) merespons pandangan negatif terkait usulan agar larangan prajurit TNI berbisnis dihapus.
- Maruli yakin usulan untuk menghapus larangan bagi prajurit TNI berbisnis tidak ada masalah, selama tidak menggunakan kekuatan militer.
- Peneliti HAM dan Sektor Keagamaan di SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menilai usulan tersebut memutarbalikkan cita-cita reformasi 1998.
Jakarta, IDN Times - Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak merespons pandangan negatif terkait usulan agar larangan prajurit TNI berbisnis dihapus. Sehingga, nantinya di dalam Undang-Undang TNI yang sedang digodok untuk direvisi, larangan tersebut ditiadakan.
Menurut Maruli, usulan untuk menghapus larangan bagi prajurit TNI berbisnis tidak ada masalah. Namun, makna aktivitas berbisnis ini harus diperjelas. Bila aktivitas bisnis dilakukan di luar jam dinas, maka dianggap oleh Maruli sah-sah saja.
"Kenapa kita tidak boleh berbisnis? Karena menggunakan kekuatan. Sebenarnya sama dengan pemaknaan itu. Tentara harus keluar dulu (dari barak) supaya tidak menggunakan kekuatannya. Jadi, kalau kita berbisnis, kata-kata 'bisnis' itu bagaimana? Kalau misalnya kita buka warung, apa itu dikatakan berbisnis? Ya kan?" ujar Maruli di Mabes TNI AD, Jakarta Pusat pada Selasa (16/7/2024).
Ia memberikan contoh lain seperti jual beli motor. Menurut Maruli, tidak menjadi masalah bila prajurit TNI terlibat bisnis jual beli motor selama tidak menggunakan kekuatan.
Mantan Pangkostrad itu meminta publik tidak perlu khawatir soal usulan agar larangan berbisnis bagi prajurit TNI dihapuskan. Sebab, penggunaan kekuatan militer di era demokrasi seperti saat ini, dinilai sudah tidak lagi relevan.
"Yang gak boleh itu, saya tiba-tiba mengambil alih menggunakan kekuatan. Itu gak boleh," imbuhnya.
1. Prajurit TNI sudah tidak bisa bertindak semena-mena karena ada media sosial

Lebih lanjut, Maruli mengatakan meski prajurit TNI dilatih menggunakan senjata dan mematikan musuh, tetapi mereka takut terhadap perkembangan media sosial. Sebab, media sosial menyebarkan informasi ke publik sangat cepat.
"Sekarang, tentara takut sama media kok. Takut sama TikTok ya kan? Ngeri itu. Tentara sudah dilatih tembak-tembakan juga, sama TikTok takut sekarang. Itu kenyataan yang saat ini terjadi. Sehingga, tidak perlu dipikirkan ke mana-mana," kata Maruli.
2. KSAD Maruli akui prajurit TNI karena tingkat kesejahteraan yang kurang

Maruli pun mengakui untuk membuat batasan aktivitas bisnis di dalam aturan bagi prajurit sulit. Menurutnya, asal bisnis yang dilakukan legal, tidak ada masalah. Selain itu, ia turut mengakui fungsi dari bisnis yang dilakukan oleh prajurit TNI lantaran tingkat kesejahteraan yang masih kurang.
"Memang kalau saya mau jualan apa gitu, jadi agen yang legal, kenapa gak boleh? Karena kan batasan bisnisnya susah ini. Masak kalau sampingan, kita jualan rokok karena memang uang kurang (gak boleh). Kan itu halal. Kerjanya pun kan di luar jam kerja," kata Maruli.
Ia pun kembali meminta publik agar tidak perlu khawatir bila prajurit TNI nantinya dibolehkan berbisnis. Sebab, saat ini aturan hukum yang ada diklaim Maruli sudah semakin baik. Sehingga, prajurit TNI tetap tidak bisa bertindak sewenang-wenang.
3. Prajurit TNI berpotensi jadi pelindung entitas bisnis dan tak fokus ke isu pertahanan

Sementara, dalam pandangan peneliti HAM dan Sektor Keagamaan di SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, usulan agar prajurit TNI dibolehkan berbisnis justru memutarbalikan cita-cita reformasi 1998. Ia menggarisbawahi usulan menghapus larangan bagi prajurit TNI berbisnis tidak pernah disampaikan sebelumnya. Namun, tiba-tiba usulan itu disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro dalam acara dengar pendapat publik mengenai revisi UU TNI yang digelar pada 11 Juli 2024.
"Bila larangan itu dihapus, maka memberi legitimasi aktivitas komersial bagi prajurit TNI, dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," ujar Ikhsan seperti dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa kemarin.
Lebih lanjut, Ikhsan menjelaskan, keterlibatan prajurit TNI dalam usaha warung kelontong milik keluarga, tidak sama dengan larangan bisnis yang tercakup dalam Pasal 39 UU TNI. Sebab, dalam usaha kelontong itu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut atau aspek keprajuritan lainnya seperti kewenangan komando.
"Hal itu berbeda konteks dengan yang ada di norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, dan menjauhkan TNI dari profesionalitas," ujar dia.
Bahkan, kata Ikhsan, usulan itu bila diakomodasi dalam pembahasan di parlemen, bisa menimbulkan praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi pelindung entitas bisnis.
"Justru yang dibutuhkan dalam perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci, mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud. Misalnya, diberikan keterangan penjelasan pasal tersebut bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI," katanya.