OPINI: Bagi DPR, Kesehatan Publik Sungguh (Tidak) Penting

Oleh Yohan Misero
JAKARTA, Indonesia —Hampir enam dekade lamanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibahas oleh pemerintah dan parlemen. Sudah sejak lama, Indonesia berkeinginan memiliki KUHP yang orisinal milik Indonesia, bukan peninggalan kolonial Belanda.
Pada 2018 ini, mungkin kita akan melihat RKUHP disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebuah langkah yang bukannya menggembirakan, melainkan teramat mengkhawatirkan karena pembahasan pasal-pasal di RKUHP cenderung dilakukan melalui pendekatan pidana belaka.
Padahal masih banyak pasal-pasal di dalam RKUHP yang kontraproduktif dengan upaya-upaya peningkatan kesehatan publik. Setidaknya, ada empat sektor tindak pidana yang terang-terang mengancam efektivitas intervensi kesehatan:
Pidana mengenai narkotika dan psikotropika
Pertama, penempatan ketentuan pidana mengenai narkotika dan psikotropika ke dalam RKUHP, tepatnya pasal 507 sampai 534, mengancam keberadaan dan kelangsungan program rehabilitasi di Indonesia. Karena hal tersebut menyebabkan hilangnya tautan peraturan-peraturan teknis rehabilitasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Peraturan Bersama 7 Institusi, serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial.
Struktur pidana baru yang ada di RKUHP mengenai narkotika juga akan melemahkan upaya-upaya pengurangan dampak buruk seperti layanan jarum suntik steril juga terapi substitusi opioid melalui metadon atau buprenorfin. Hal ini disebabkan karena pembahasan RKUHP yang berat pada pertimbangan ahli-ahli pidana bukannya kesehatan akan membuat aturan-aturan pidana ini kehilangan konteks tentang narkotika sesungguhnya.
Alat kontrasepsi
Kedua, berkaitan dengan alat kontrasepsi yang termaktub dalam Pasal 481 dan 483 RKUHP. Dalam konteks distribusi informasi mengenai alat kontrasepsi, hal ini sudah sepatutnya dapat dilakukan oleh berbagai pihak – tidak hanya petugas pemerintah, organisasi keagamaan, juga LSM.
Bukankah wajar ketika kita membantu seorang teman yang tidak memiliki pengetahuan tentang kontrasepsi namun di saat yang sama ia membutuhkannya? Alat kontrasepsi, dan penyebaran pengetahuan tentangnya, adalah hal yang sangat penting untuk menekan angka penyebaran HIV/AIDS maupun infeksi menular seksual (IMS).
Tentang hubungan seksual yang konsensual
Ketiga, mengenai pasal-pasal tentang hubungan seksual yang konsensual (Pasal 484 ayat 1 huruf e). Bahwa semisal banyak pihak yang tidak sepakat dengan adanya hubungan seksual yang konsensual di luar hubungan pernikahan, hal itu adalah kebebasan berpendapat setiap orang karena setiap orang memiliki filsafat dan pandangan hidupnya masing-masing. Namun menempatkan intervensi pidana untuk menekan fenomena tersebut sungguh tidak tepat.
Kriminalisasi pekerja seks
Keempat, pasal yang mengkriminalkan hadirnya pekerja seks di jalan, maupun secara online, yakni Pasal 489. Di luar susunan pasalnya yang rawan menjerat seseorang yang sekedar menunggu di pinggir jalan, upaya kriminalisasi terhadap komunitas pekerja seks juga tidak akan efektif, dan berpotensi berdampak buruk pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Belajar dari masa lalu
Belajar dari penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan penutupan beberapa area lokalisasi kita semestinya bisa memahami bahwa: melarang suatu hal tidak berarti praktiknya serta merta berhenti. Sudah hampir 10 tahun UU Narkotika hadir, tetapi angka peredaran gelap dan pemakaian narkotika bukannya menurun, melainkan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Beberapa kali, pemerintah pusat maupun daerah membubarkan area lokalisasi pekerja seks. Hal ini terbukti tidak efektif karena beberapa kawan pekerja seks hanya pindah ke area atau kota lain yang situasinya lebih memungkinkan mereka berkerja. Penutupan lokalisasi di suatu kota juga tidak berarti tidak ada lagi transaksi seks di kota tersebut – mungkin mata kita saja yang tak lagi dapat memantaunya.
Untuk hal-hal seperti pemakaian narkotika, seksualitas, dan pekerja seks, pemerintah semestinya membangun dialog yang konstruktif dengan komunitas terdampak dan melakukan pendidikan yang jujur tentang hal-hal ini pada masyarakat umum. Pendekatan pidana yang dibungkus alasan moral – tanpa melihat bagaimana dampak kebijakan ini kepada aspek kesehatan publik justru hanya menempatkan masyarakat umum sebagai korban.
Mengkriminalisasi pemakaian narkotika, berhubungan seks secara konsensual, dan pekerja seks akan menempatkan praktik-praktik ini di sudut-sudut paling gelap masyarakat kita – tanpa bisa dipantau dan akan mempersulit upaya-upaya intervensi kesehatan. Yang dirugikan dari keberadaan pasal ini adalah bukan si pekerja seks itu sendiri misalnya, tetapi juga masyarakat luas.
Kriminalisasi akan mendorong pemakai narkotika dan pekerja seks semakin tersembunyi dan sulit terjangkau oleh akses kesehatan. Konsekuensinya: peningkatan angka HIV/AIDS dan IMS.
Belum lagi terdapat banyak pasal-pasal lain di RKUHP yang amat mudah memenjarakan orang sehingga rawan menimbulkan overkriminalisasi. Padahal saat ini rekan-rekan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM masih terus dilanda permasalahan lapas yang kelebihan beban (overcrowding).
Situasi di mana penjara amat penuh akan menimbulkan dampak kesehatan yang tidak murah dan tidak mudah untuk diatasi: sanitasi yang bermasalah, problem pada pencernaan, penyakit kulit, problem pada pernafasan, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), tuberculosis (TB), dan lain-lain.
Hal ini sungguh ironis mengingat setiap tahunnya Kementerian Kesehatan bersama lembaga-lembaga swadaya masyarakat pun keagamaan – seperti Lembaga Kesehatan Nadhlatul Ulama dan Aisyiyah, Gerakan Perempuan Persyarikatan Muhammadiyah – mengelola ratusan ribu hingga jutaan dollar Amerika untuk menanggulangi HIV/AIDS serta TB di Indonesia. Segala usaha itu akan kembali ke titik nol ketika RKUHP disahkan.
Menatap masa depan hukum pidana Indonesia
Tidak dipertimbangkannya aspek kesehatan publik hanyalah satu dari sekian banyak masalah lain dalam penyusunan pasal-pasal di RKUHP. Oleh karena itu, wajar ketika banyak penolakan dari publik tentang susunan RKUHP saat ini yang diserukan melalui advokasi langsung maupun media sosial dengan berbagai tagar seperti #TolakRKUHP, #tolakRKUHPngawur, #kepoinRKUHP, dan lain sebagainya.
Namun hal ini bukan berarti bahwa Indonesia tidak memerlukan RKUHP. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini adalah peninggalan masa kolonial Belanda – sehingga banyak aspek di dalamnya yang menindas rakyat dan melindungi penguasa. Hal itulah yang semestinya mendasari pembahasan RKUHP – membangun kebijakan pidana yang melindungi publik, bukannya justru mengorbankannya; membentuk peraturan yang menghormati hak asasi manusia, bukannya memberangus kebebasan.
DPR tak perlu buru-buru mengesahkan RKUHP. Bahaslah dengan tenang, komprehensif, holistik, dan mengedepankan bukti – bukan prasangka dan nilai-nilai pribadi. Justru ketika DPR bersikap dewasa seperti itu, masyarakat akan sangat berterimakasih karena DPR – semoga dan seharusnya – mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya, termasuk: 2019, kepentingan partai, dan nama besar. —Rappler.com
Yohan Misero adalah Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat