Pengguna Jasa Prostitusi Online Bisa Dijerat UU Perdagangan Orang
.jpg)
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) buka suara soal kasus prostitusi online yang melibatkan pesinetron berinisial CA.
Dalam keterangan persnya, Komnas Perempuan menyayangkan bahwa polisi tidak bisa menghadirkan dan membuka identitas pengguna jasa prostitusi. Pengungkapan siapa pengguna dianggap jauh lebih efektif dalam mencegah tindak perdagangan orang untuk tujuan prostitusi di kemudian hari.
Komnas Perempuan juga menyayangkan karena polisi membuat narasi bahwa UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPPO) tidak dapat menjangkau pengguna jasa. Mirisnya, polisi bahkan menyampaikan bahwa yang dilakukan oleh pengguna adalah tindakan yang bersifat privat atau personal, sehingga tidak dapat dijangkau oleh hukum.
“Pihak Kepolisian juga dapat memanggil para pengguna bersama keluarganya, agar juga diberikan edukasi sehingga tidak mengulangi tindakan ini ke depan. Sekaligus, pemanggilan ini bisa memberikan ruang bagi para istri dari pengguna yang telah menikah untuk memutuskan apakah mereka akan menggunakan Pasal 284 KUHP tentang perzinahan, setelah mengetahui bahwa suaminya adalah pengguna prostitusi online,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam keteranganmya, Kamis (6/1/2022).
1. Penggunaan UU TPPPO adalah langkah penting di kasus ini

Komnas Perempuan beranggapan, penjangkauan pelaku dengan UU TPPPO adalah langkah penting dalam penanganan kasus tersebut.
“Penting diingat bahwa penggunaan UU TPPO pertama kali disampaikan oleh pihak kepolisian di dalam keterangan pers menjelang akhir tahun 2021 (31/12/2021) mengenai kasus prostitusi online yang melibatkan CA,” kata dia.
Kala itu dijelaskan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol E. Zulpan, bahwa kepolisian menyangkakan pasal berlapis kepada CA dan ketiga muncikari yang tertangkap. Salah satunya adalah Pasal 2 Ayat 1 dari UU No. 21 Tahun 2017 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
2. Publik figur juga punya kerentanan sebagai korban perdagangan orang

Catatan Komnas Perempuan, berbasis pada pemantauan dan dokumentasi tentang berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan menunjukkan, industri prostitusi menempatkan perempuan yang dilacurkan sebagai korban perdagangan orang.
“Mereka merupakan perempuan korban perdagangan orang, perempuan dalam kemiskinan, korban eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan bagian dari gratifikasi seksual. Sekalipun dalam level figur publik, kerentanan itu juga ada,” ujar Andy.
3. Minta polisi jangkau pengguna dengan UU TPPPO

Komnas Perempuan berada dalam posisi mengingatkan Polri agar menjangkau pengguna sebagaimana diamanatkan dalam UU TPPPO. Terlebih, publik mempertanyakan mengapa kepolisian tidak menyebutkan siapa pengguna CA.
Rekomendasi ini dirasa sesuai dengan kewenangan Komnas Perempuan untuk memberi masukan kepada berbagai lembaga, termasuk kepolisian, untuk memastikan penanganan yang lebih adil dan mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
4. Ancaman pindana bagi pengguna prostitusi online

Mengacu pada pernyataan Polri terkait Pasal 2 Ayat 1 UU TPPO, maka ancaman pidana bagi pengguna protitusi adalah penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
“Karenanya, pernyataan Komnas Perempuan untuk menerapkan Pasal 12 UU TPPO adalah tidak berlebihan, dan sebaliknya dimaksudkan untuk memperkuat pernyataan kepolisian di awal dan menjelaskan tidak adanya kekosongan hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap para pengguna korban TPPO,” kata Andy.