Perempuan Disabilitas Masih Alami Diskriminasi dan Risiko Kekerasan

- Perempuan dengan disabilitas menghadapi diskriminasi sistemik dan risiko kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang tinggi.
- CATAHU Komnas Perempuan 2024 mencatat 105 kasus kekerasan pada perempuan dengan disabilitas, dengan 38 dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
- Perempuan dengan disabilitas terbatas dalam akses layanan dasar, pendidikan, dan kesenjangan digital berbasis gender dan disabilitas.
Jakarta, IDN Times - Perempuan dengan disabilitas tak luput dari berbagai kekerasan di dalam hidupnya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan perempuan dengan disabilitas masih menghadapi diskriminasi sistemik dan risiko kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang tinggi. Situasi ini menjadi penghambat signifikan bagi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan keluarga dan pembangunan nasional.
"Stigma masyarakat, keterbatasan akses layanan dasar, dan minimnya fasilitas pemulihan korban yang inklusif memperparah kerentanan perempuan dengan disabilitas,” ujar Komisioner Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad dalam keterangannya, Rabu (4/12/2024).
1. Harusnya perempuan dengan disabilitas punya ruang lebih luas untuk berpartisipasi

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 mengungkapkan ada 105 kasus kekerasan pada perempuan dengan disabilitas, dengan 38 di antaranya dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Komisioner Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat, Veryanto Sitohang mengungkapkan pentingnya memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan dengan disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
"Saat ini, masih banyak forum publik yang tidak menyediakan aksesibilitas, seperti Juru Bahasa Isyarat (JBI) bagi perempuan tuli. Hal ini membatasi mereka untuk menyuarakan aspirasinya," kata dia.
2. Rendahnya tingkat pendidikan yang buat peluang semakin sempit

Kondisi yang ada juga menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas tidak mendapat pendidikan yang memadai, hal ini mempersempit peluang mereka terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan disabilitas dianggap tak bisa merawat diri sendiri sehingga menjadi hambatan mengakses beasiswa termasuk ke luar negeri.
3. Hambatan kesenjangan berbasis digital berbasis gender dan disabilitas

Dari aspek digitalisasi dan kesehatan, Komisioner Ketua Advokasi Internasional Komnas Perempuan, Rainy M Hutabarat, menyoroti kesenjangan digital berbasis gender dan disabilitas dapat mengurangi hambatan akses pada informasi, pengetahuan, keterampilan.
Kesenjangan ini di antaranya ketersediaan aplikasi pendukung, selain bahasa isyarat, seperti voice to text dan memperbesar huruf bagi penyandang rabun. Menghapus kesenjangan digital termasuk literasi digital digital dan memperluas daya jangkau akses ke internet merupakan hal penting bagi kepeimpinan perempuan termasuk perempuan dengan disabilitas.
"Layanan kesehatan yang inklusif dan penguatan literasi digital merupakan kunci pencegahan kekerasan berbasis gender dan memastikan kepemimpinan perempuan dengan disabilitas,” katanya.