Polri Akan Studi Banding ke Inggris untuk Belajar Penanganan Demo

- Inggris memiliki pendekatan modern, terstruktur, dan berbasis HAM.
- Akan ada asesmen terhadap kemampuan psikologis dan evaluatif.
- Masukan dari masyarakat sipil menjadi bagian penting.
Jakarta, IDN Times - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan studi banding ke Inggris untuk belajar dan memperbarui model pelayanan terhadap pengunjuk rasa atau demo melalui pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dan komparatif internasional.
Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo menjelaskan, penyusunan model pelayanan unjuk rasa harus sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 dan sekaligus memenuhi standar internasional dalam perlindungan hak berekspresi.
“Pembaruan ini dilakukan dengan merujuk pada best practice negara maju, khususnya Inggris, yang telah memiliki Code of Conduct pengendalian massa yang dinilai efektif, transparan, dan akuntabel,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/11/2025).
“Model pelayanan terhadap pengunjuk rasa harus kita rumuskan ulang, tidak hanya berdasarkan kondisi dalam negeri, tetapi juga mengacu pada standar HAM internasional. Kita belajar dari negara-negara yang sudah lebih maju dalam pengelolaan kebebasan berpendapat di ruang publik,” lanjutnya.
Lalu apa alasan Polri belajar penanangan Demo sampai ke Inggris?
1. Inggris memiliki pendekatan modern, terstruktur, dan berbasis HAM

Polri pun berencana akan mengirimkan perwakilannya untuk terbang ke Inggris pada Januari mendatang. Inggris kata Dedi, memiliki code of conduct yang membagi pengendalian massa ke dalam lima tahap mulai dari analisis awal, penilaian risiko, langkah pencegahan, tindakan lapangan, hingga konsolidasi pascakejadian.
Setiap tahap dilengkapi aturan jelas ‘do and don’t’ bagi petugas lapangan hingga komandan.
“Inggris memiliki pendekatan modern, terstruktur, dan berbasis HAM. Code of Conduct mereka menjelaskan dengan rinci apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ini sangat relevan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri terhadap pengunjuk rasa,” jelas Wakapolri.
2. Akan ada asesmen terhadap kemampuan psikologis dan evaluatif

Selain studi internasional, Polri juga melibatkan akademisi, pakar, serta koalisi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa pembangunan model ini inklusif dan sesuai prinsip demokrasi.
Salah satunya adalah asesmen terhadap kemampuan psikologis dan evaluatif para komandan, kasatwil, dan kapolres, yang dinilai penting untuk menciptakan pengambilan keputusan yang proporsional di lapangan.
Perubahan internal turut dilakukan. Sistem pengendalian massa yang dahulu memiliki 38 tahapan kini disederhanakan menjadi lima fase utama. Hal ini disinkronkan dengan enam tahapan penggunaan kekuatan sesuai Perkap No. 1 Tahun 2009 serta standar HAM pada Perkap No. 8 Tahun 2009.
“Setiap tindakan dalam lima tahap harus dievaluasi, mulai dari progres hingga dampaknya. Ini sejalan dengan prinsip accountability dalam standar HAM global. Polri harus berani berubah, memperbaiki, dan beradaptasi,” ujarnya.
3. Masukan dari masyarakat sipil menjadi bagian penting

Dedi juga menekankan, perubahan organisasi tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman, tetapi harus berbasis kajian ilmiah, riset multidisipliner, dan data.
“Dalam konteks internasional, semua negara yang maju dalam pelayanan publik selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan dan kajian. Itulah yang kita lakukan. Masukan dari masyarakat sipil menjadi bagian penting dari proses ini,” ungkapnya.














