Revisi KUHP Digarap Komisi III DPR, Bagaimana Jika Mereka Gak Paham Hukum?

Jakarta, IDN Times - Berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 3/DPR RI/IV/2014-2015, maka Komisi III DPR RI membidangi segala perkara yang berkaitan dengan Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Keamanan.
Konsekuensi dari putusan tersebut adalah Komisi III memiliki kapasitas dan wewenang untuk merevisi lebih dari 700 pasal yang terhimpun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kendati fungsi KUHP yang signifikan, Ahli Hukum Pidana Hery Firmansyah Yasin menyampaikan bahwa Revisi KUHP harus diperhatikan sedemikian rupa.
“Bicara tentang hukum pidana yang diatur dalam KUHP, itukan bicara menestapakan dana menderitakan orang (melalui hukuman). Karenanya segala asas dan prinsip hukum harus diperhatikan,” ujarnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (03/02).
Sementara itu, wartawan senior sekaligus pengamat hukum Hamid Basyaib menggarisbawahi kapasitas pakar hukum di Indonesia yang masih banyak belum memiliki kemampuan untuk membuat draft undang-undang.
“Kemampuan membuat UU adalah kemampuan khusus. Sarjana hukum saja belum tentu mampu, perlu keahlian lagi. Dulu Setneg tahun 80-an pernah bercita-cita untuk membuat sekolah legal drafting karena menurutnya butuh 35 ahli dalam 1 tahun. Tapi itu belum terjuwud hingga sekarang,” paparnya.
Menjawab pernyataan tersebut, melalui diskusi yang cukup alot dengan tema Revisi KUHP, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyampaikan, penting untuk dibedakan antara teknis drafting dengan substansi dari UU itu sendiri.
“Jadi kalau sekolah legal drafting itu ada. Bedakan antara teknis draftin dengan teknis materi. Teknis drafting memang penting, tapi yang tidak lupa harus disoroti adalah DPR yang belum mempunyai perangkat untuk membahas substansinya,” jawab Bivitri.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana jika anggota Komisi III tidak memiliki latar belakang hukum, sehingga berpotensi gagal untuk memahami substansi hukum yang dibuat oleh mereka sendiri. Mengingat, KUHP yang berlaku diadopsi dari hukum Belanda dan Perancis, sedangkan Revisi KUHP berupaya untuk meletakkan konteks ke-Indonesiaan di dalamnya.
1. Wajar jika ada Anggota Komisi III yang tidak mengerti hukum

Menanggapi perkara itu, argumentasi pertama yang dibangun Bivitri adalah dibedakan terlebih dahulu antara kerja hukum dengan kerja politik.
“Politisi di manapun di dunia ini sebenarnya tidak mempunyai komptensi itu (hukum), karena mereka dipilih bukan karena kompetensinya, tapi karena popularity based. Jadi wajar saja kalau ada artis atau mereka yang tidak memiliki kompetensi itu di Komisi III. Karena harus dibedakan kerja politik dengan kerja hukum,” jelasnya kepada IDN Times.
2. DPR sudah memiliki Badan Keahlian DPR

Kemudian, pelopor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini juga mengatakan, untuk setiap undang-undang yang dibahas oleh anggota dewan, mereka dibantu oleh Badan Keahlian DPR (BKD).
“Untuk memenuhi kompetensi substansi, makanya anggota dewan harus mengundang pakar, terus ada juga tim ahlinya. DPR punya BKD, mereka juga bisa undang profesor-profesor. Sehingga untuk kerja teknisnya, nanti akan dibantu oleh BKD,” kata dia.
Meski Bivitri mendapatkan kabar kalau tidak sepenuhnya tanggapan dari BKD ditanggapi oleh Komisi III.
“Sebenarnya memang perlu tanggapan dari BKD, tapi mereka pernah bilang, masukan mereka pernah tidak diperhatikan atau dipelintir karena kepentingan politik. Kuncinya memang harus dikasih keterbukaan, karena BKD juga tidak mengetahui apa yang terjadi di internal DPR,” tuturnya
3. Berbahaya juga apabila Komisi III diisi oleh pakar hukum

Meski Komisi III DPR RI sangat membutuhkan politisi dengan kapasitas hukum, Bivitri turut menyertakan alasan agar Komisi III tidak diisi oleh pakar hukum seluruhnya.
“Kalau orang hukum Komisi III, itu nanti bisa ‘main-main’ loh. Karena mereka bermitra dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Dan kalau kadang-kadang mereka melanggar kode etik, mereka bisa saja negosiasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Jadi bahaya juga,” katanya.