RI Telah Kehilangan 150 Dokter dan 103 Perawat akibat COVID-19

Jawa Timur catat kematian tertinggi dokter yakni 35 orang

Jakarta, IDN Times - Memasuki bulan kedelapan di masa pandemik, angka tenaga medis yang meninggal akibat COVID-19 di Indonesia mencapai 253 orang. Angka itu terdiri dari 141 dokter, 9 dokter gigi dan 103 perawat. 

Mengutip data resmi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) per Minggu (25/10/2020), dari ratusan dokter tersebut, ada 75 dokter umum (5 guru besar), 64 dokter spesialis (5 guru besar) dan 2 dokter residen yang berasal 18 IDI wilayah provinsi. Bila dirinci lokasi dokter tersebut berpraktik dan meninggal, maka angka kematian dokter tertinggi berada di Jawa Timur yakni 35 dokter, disusul Sumatera Utara 23 dokter dan DKI Jakarta 20 dokter. 

Dr. Eka Mulyana, SpOT(K) mengatakan kondisi pandemik di Tanah Air semakin mengkhawatirkan. Hal itu karena jumlah tenaga medis yang meninggal akibat COVID-19 terus bertambah. Padahal, semakin banyak tenaga medis yang tutup usia, maka pandemik diprediksi akan semakin panjang. 

"Karena para petugas medis dan kesehatan memiliki peranan penting untuk meringankan penderitaan dan menyelamatkan nyawa masyarakat," ungkap Eka melalui keterangan tertulis pada hari ini. 

"Tidak ada negara, rumah sakit atau klinik yang dapat menjaga keamanan pasiennya kecuali jika petugas kesehatannya tetap aman dan terlindungi dari risiko terpapar COVID-19," lanjutnya. 

Apa tanggapan IDI mengenai vaksin yang digadang-gadang bisa menjadi solusi untuk mengendalikan pandemik COVID-19?

1. Selain merasa lelah, tenaga medis juga masih mengalami kekerasan fisik selama pandemik

RI Telah Kehilangan 150 Dokter dan 103 Perawat akibat COVID-19Ilustrasi tenaga medis (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Dr. Eka menjelaskan banyaknya tenaga medis yang meninggal merupakan kerugian yang sangat besar bagi Pemerintah Indonesia. Sebab, untuk bisa menghasilkan dokter dan perawat profesional butuh waktu yang tidak sebentar. 

Kondisi itu semakin diperburuk dengan temuan di lapangan di mana tenaga medis masih mengalami diskriminasi dan kekerasan fisik. 

"Perlindungan dan keamanan bagi para tenaga medis dan kesehatan adalah mutlak diperlukan dalam menghadapi pandemik COVID-19 ini, selain tentu diperlukan juga peran dari pihak-pihak lainnya baik itu pemerintah pusat, daerah, swasta dan para tokoh agama atau masyarakat," tutur Dr. Eka. 

Salah satu tindak kekerasan yang dialami oleh tenaga medis terjadi di Surabaya. Ketika empat tenaga medis hendak melakukan pendataan pada 29 September 2020 lalu di rumah susun Bandarejo, mereka malah dilempari kotoran manusia oleh warga setempat. Kejadian ini dikonfirmasi langsung oleh Kepala Puskesmas Sememi, dr. Lolita Riamawati.

Dr. Lolita mengatakan peristiwa itu bermula pada 23 September 2020 di mana tim Satgas COVID-19 Kecamatan Benowo bersama Puskesmas Sememi melaksanakan tes usap massal di Rusun Bandarejo.

"Tanggal 28 September, keluarlah hasil swab test tersebut yang menyatakan ada pasien yang positif COVID-19 di Rusun Bandarejo,” ujarnya. 

Tenaga medis kemudian memutuskan untuk bergerak memberi edukasi dan melakukan pelacakan di rusun tersebut. Namun, ketika empat tenaga medis tiba, mereka malah dilempari kotoran manusia. 

Baca Juga: Lelah Mental dan Fisik 7 Bulan Hadapi COVID-19, Tenaga Medis Menyerah?

2. Tenaga medis alami tingkat stres psikologis selama pandemik COVID-19

RI Telah Kehilangan 150 Dokter dan 103 Perawat akibat COVID-19Ilustrasi tenaga medis melakukan tes cepat di Surabaya (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Sementara, Ketua Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Harif Fadhillah, mengatakan pandemik COVID-19 yang berkepanjangan menyebabkan tenaga medis mengalami stres psikologis yang luar biasa. Hal itu lantaran jam kerja mereka yang semakin panjang. 

"Belum lagi petugas kesehatan rentan terpapar karena pengaturan pengaturan permintaan tinggi selama berjam-jam. Mereka juga hidup dalam ketakutan terus-menerus terhadap paparan penyakit," ungkap Harif.

Situasi itu diperburuk lantaran selama bertugas, mereka tidak jarang banyak yang sementara waktu tidak bertemu secara fisik dengan anggota keluarganya. Hal itu agar anggota keluarga lainnya tidak ikut terpapar virus corona. 

"Hal ini menjadi sorotan bagaimana bangsa kita telah melindungi atau tidak melindungi profesi perawat kita," tutur dia.

3. PB IDI mendorong agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam melakukan program vaksinasi

RI Telah Kehilangan 150 Dokter dan 103 Perawat akibat COVID-19Ilustrasi pemberian vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Sedangkan, terkait dengan pemberian vaksin COVID-19, PB IDI tidak menentang kebijakan pemerintah tersebut. Namun, mereka menekankan agar pemerintah mengutamakan keamanan vaksin. 

"Sehingga, program vaksinasi perlu dipersiapkan dengan baik," ungkap Dr. Agustina Puspitasari, SpOk yang tergabung dalam Tim Pedoman Protokol Kesehatan dari Tim Mitigasi PB IDI.

Alih-alih terburu-buru untuk menyediakan vaksin, PB IDI mendorong agar publik tetap mematuhi protokol kesehatan dengan cara memakai masker, mencuci tangan secara teratur dan menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain. "Sementara, bagi tenaga medis ketika bertugas di tempat kerja juga harus melakukan pengendalian transmisi COVID-19 meliputi pengendalian teknik, administrasi dan Alat Pelindung Diri (APD)," ungkap Dr. Agustina. 

Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan COVID-19, menggelar kampanye 3 M : Gunakan Masker, Menghindari Kerumunan atau jaga jarak fisik dan rajin Mencuci tangan dengan air sabun yang mengalir. Jika protokol kesehatan ini dilakukan dengan disiplin, diharapkan dapat memutus mata rantai penularan virus. Menjalankan gaya hidup 3 M, akan melindungi diri sendiri dan orang di sekitar kita. Ikuti informasi penting dan terkini soal COVID-19 di situs covid19.go.id dan IDN Times.

Baca Juga: Amnesty International: Minim APD Jadi Penyebab Banyak Nakes Meninggal

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya