Siswa Nakal di Jabar Dikirim ke Barak, 4 Negara Ini Gunakan Konseling

- Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, memulai program pembinaan siswa bermasalah dengan mengirim ke barak militer.
- Negara lain seperti AS, Kanada, Singapura, dan Finlandia menggunakan pendekatan konseling, mediasi, dan dukungan sosial untuk membantu siswa memperbaiki perilaku mereka.
- Contohnya adalah PBIS di AS yang fokus pada penguatan perilaku baik, praktik restoratif di Singapura, dan Program VERSO di Finlandia yang melibatkan mediasi restoratif di lingkungan sekolah.
Jakarta, IDN Times - Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi memulai program pembinaan siswa bermasalah dengan mengirim mereka ke barak militer. Program tersebut awalnya diresmikan pada Jumat (2/5/2025), dan hingga saat ini siswa bermasalah ini terus berdatangan.
Lewat Surat Edaran (SE), nomor: 43/PK.03.04/KESRA, Dedi Mulyadi memberikan beberapa kategori siswa-siswi atau peserta didik yang bisa diberikan pendidikan militer di masing-masing kabupaten dan kota.
"Bagi peserta didik yang memiliki perilaku khusus, yang sering terlibat tawuran, main game, merokok, mabuk, balapan motor, menggunakan knalpot brong dan perilaku tidak terpuji lainnya, akan dilakukan pembinaan khusus," ujar Dedi dikutip dalam SE, Sabtu (3/5/2025).
Peserta program dipilih melalui kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat pergaulan bebas dan tindak kriminal. Selama enam bulan, siswa akan tinggal di barak dan tidak mengikuti sekolah formal.
Di sisi lain, pendekatan terhadap siswa nakal di sejumlah negara juga sudah dilakukan lebih dulu, ada sejumlah perbedaan dari tiap-tiap negara. Berikut adalah rangkuman negara yang gunakan pendekatan-pendekatan dengan konseling, mediasi, dan dukungan sosial untuk membantu siswa memperbaiki perilaku mereka tanpa pendekatan militeristik.
1. PBIS: Pendekatan disiplin tanpa hukuman di Sekolah AS

Positive Behavioral Interventions and Supports (PBIS) adalah kerangka kerja berbasis bukti yang digunakan di sekolah untuk mendorong perilaku positif dan mencegah perilaku bermasalah. Pendekatan ini tak menggunakan hukuman, tapi fokus pada penguatan perilaku baik, konsistensi aturan, dan intervensi mendukung. PBIS dikembangkan dan didukung oleh U.S. Department of Education dan telah diterapkan di lebih dari 27.000 sekolah di AS. PBIS bekerja melalui pendekatan bertingkat (tiered approach).
Terdiri dari tiga tingkatan, PBIS dimulai dari Tier 1 untuk semua siswa dengan mengajarkan perilaku positif. Tier 2 ditujukan bagi sebagian siswa yang membutuhkan bimbingan tambahan atau siswa yang mulai menunjukkan tanda-tanda masalah perilaku ringan atau berulang. Sedangkan Tier 3 memberikan intervensi intensif dan individual bagi siswa dengan perilaku yang sangat mengganggu atau kronis. Pendekatannya juga berbeda-beda untuk tiap tier, ada yang dengan poin, papan apresiasi, konseling hingga pendekatan personal yakni konseling individu hingga kerja sama dengan psikolog.
2. Singapura: Praktik restoratif di Sekolah

Singapura telah mengadopsi praktik restoratif di beberapa sekolah sebagai alternatif dari pendekatan disiplin tradisional. Misalnya, Sekolah Menengah Ping Yi menjadi salah satu dari empat sekolah percontohan yang ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan untuk menerapkan praktik ini.
Dalam pendekatan ini, siswa yang terlibat dalam pelanggaran diajak berdiskusi dalam lingkaran restoratif untuk memahami dampak tindakan mereka dan mencari solusi bersama.
Dilansir dari situs International Institute for Restorative Practices (IIRP) Graduate School dijelaskan sekolah awalnya menerapkan praktik pemulihan (RP) dengan hati-hati. Guru mempelajari pertanyaan restoratif, alasan di balik praktik ini dan bagaimana hal itu dapat membantu memperbaiki perilaku dan membangun hubungan yang positif bagi siswa.
Pertanyaan restoratif tersebut meliputi: “Apa yang terjadi?” “Siapa yang terpengaruh?” dan “Bagaimana perasaan Anda dan orang lain tentang insiden tersebut?” Pertanyaan-pertanyaan ini membantu anak-anak berpikir tentang dampak tindakan siswa nakal atau bermasalah.
3. Hope Squad di Amerika Serikat dan Kanada dengan dukungan teman sebaya

Hope Squad adalah program pencegahan bunuh diri berbasis sebaya yang melatih siswa untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental pada teman-temannya dan menghubungkan mereka dengan bantuan profesional. Melansir dari situs Suicide Prevention Resource Center (SPRC) dijelaskan, siswa yang tergabung dalam Hope Squad menerima pelatihan ekstensif dalam QPR (Question, Persuade, Refer), tanda-tanda peringatan bunuh diri, penjangkauan sebaya, dan perawatan diri.
Pertama kali diterapkan pada tahun 2004 di Timpview High School di Provo, Utah, Hope Squad kini ada di lebih dari 1.600 sekolah di Amerika Serikat dan Kanada.
4. Program VERSO di Finlandia: mediasi restoratif antar teman sebaya

Finlandia menerapkan Program VERSO yang fokus pada mediasi restoratif di lingkungan sekolah. Melansir dari situs includemeproject.eu dijelaskan bahwa dalam program ini siswa dilatih sebagai mediator sebaya untuk membantu menyelesaikan konflik antar teman.
Para siswa yang telah terlatih dan berusia beberapa tahun lebih tua memediasi perselisihan para siswa yang lebih muda. Verso, kata dalam bahasa Finlandia berarti “tunas”.