Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Titi Anggraini Sentil Kredibilitas KPU-MK hingga Komitmen Negara

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan hasil rekapitulasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dikelola kurang profesional dan serius, sehingga memicu spekulasi serta kontroversi.

“Yang menunjukkan kemunduran yang sangat terukur, yaitu masalah meluntur atau melemahnya komitmen negara, terutama KPU terkait dengan kebijakan afirmasi atau keterwakilan perempuan,” kata Titi dalam acara Real Talk bersama Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, di studio IDN Media HQ, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu, 27 Maret 2024.

Mantan Direktur Eksekutif Perludem itu berbagi pengalamannya terkait pemilu dan demokrasi di Indonesia. Dia sudah menggeluti bidang kepemiluan sejak bangku kuliah, atau setidaknya telah menghabiskan 25 tahun. Karena itu, Titi turut terlibat dalam memantau proses pelaksanaan Pemilu 2024, demi terwujudnya pesta demokrasi yang adil, berdaulat, dan berpihak kepada rakyat.

Pada kunjungannya ke kantor IDN Media kali ini, dia menanggapi berbagai isu terkait pemilu dan demokrasi yang belakangan ini terjadi di Tanah Air. Berikut IDN Times sajikan rangkumannya.

1. Komitmen KPU terhadap keterwakilan perempuan dalam legislatif masih lemah

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Salah satu hal yang menjadi sorotan Titi adalah melemahnya komitmen negara, terutama melalui KPU, terkait dengan jumlah keterwakilan perempuan di DPR yang pada dasarnya harus minimal 30 persen dari total jumlah anggota parlemen. Dia menyampaikan, KPU itu justru memperkenalkan sebuah kebijakan yang melemahkan keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif (caleg).

“KPU itu memperkenalkan formula matematika yang tanpa afirmasi. Jadi kalau persentase 30 persen dari daftar caleg itu menghasilkan bilangan desimal kurang dari 50, maka pembulatannya ke bawah,” kata dia.

Dengan peraturan ini, Titi menjelaskan, misalnya jika ada jumlah keterwakilan perempuan 4, maka 30 persen dari 4 itu menjadi 1,2. Angka 1,2 ini kemudian dibulatkan oleh KPU menjadi 1, sehingga jumlah keterwakilan perempuan mereka anggap cukup hanya dengan 1 orang. Pada akhirnya, ini akan menunjukkan angka keterwakilan perempuan menjadi 25 persen, bukan 30 persen.

“Dari sisi ilmu matematika benar, tapi di konteks pencalonan perempuan itu jadi problematik. Karena dia bisa menimbulkan kurang dari 30 persen,” ujar dia.

2. KPU tidak bisa sepenuhnya independen dari kemauan partai

Jajaran Ketua dan Komisioner KPU bersama kuasa hukum dalam sidang PHPU di MK, Jakarta Pusat (2/4/2024) (YouTube/Mahkamah Konstitusi)
Jajaran Ketua dan Komisioner KPU bersama kuasa hukum dalam sidang PHPU di MK, Jakarta Pusat (2/4/2024) (YouTube/Mahkamah Konstitusi)

Titi menyebutkan KPU tidak bisa sepenuhnya independen dari kepentingan-kepentingan yang dipenetrasi partai politik. Hal ini juga salah satu faktor yang mendorong ketidakadilan dalam persentase perwakilan caleg perempuan.

“Itu (pembulatan angka ke atas) tidak dilaksanakan oleh KPU, tidak diubah peraturannya karena partai politik di parlemen tidak mau,” kata dia.

Titi menjelaskan KPU sangat akomodatif dengan kemauan partai, dan belum tulus dalam mendorong internalisasi ke perwakilan perempuan. Ada pula asumsi bahwa caleg perempuan dianggap kurang kompetitif dibandingkan caleg laki-laki.

Selain itu, Titi mengatakan, ekosistem politik Indonesia memang masih belum sepenuhnya luber (langsung, umum, bebas, rahasia), jurdil, dan demokratis. Masih banyak unsur-unsur transaksional dan paradigma yang diskriminatif, terutama terhadap perempuan.

Jika melihat latar belakang perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif, kata Titi, ada beberapa karakteristik yang sering muncul. Pertama, mereka adalah petahana. Kedua, mereka memiliki pengalaman sebagai pengusaha atau terlibat dengan usaha. Yang terakhir, mereka berasal dari keluarga politik elite tingkat pusat.

“Artinya modal kapital itu sangat signifikan pengaruhnya,” ujar Titi.

3. Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu sumber masalah

Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Aryodamar)
Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Aryodamar)

Di luar permasalahan keterwakilan perempuan dalam parlemen, Titi juga menanggapi isu terkait sengketa Pilpres 2024 yang belakangan ini menjadi sorotan. Menurutnya, masalah ini sangat rumit penyelesaiannya, sebab pihak yang menangani dan menyelesaikan, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), adalah salah satu sumber dari masalah itu sendiri.

Titi menilai keterlibatan MK dalam memberikan tiket pencalonan terhadap salah satu kandidat, yaitu wakil presiden (wapres) terpilih dengan nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, sebagai hal yang kontroversial. Sebab, keputusan MK dikeluarkan ketika pengumuman pendaftaran calon sudah dibuka, hanya menjelang tiga hari pendaftaran calon.

“Itu tidak lazim dalam praktik pemilu dunia manapun. Makanya kemudian dalam konteks pemilu, keterlibatan pengadilan itu ada dikenal dengan judicial restraint, menahan diri,” kata dia.

4. Titi memiliki sedikit harapan terhadap penanganan masalah di MK

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Kendati, Titi melihat ada sedikit harapan dari penanganan sengketa Pemilu 2024 di MK. Pertama, karena adanya pergantian hakim, seperti faktanya bahwa Mantan Ketua MK Anwar Usman, yang juga paman Gibran, kini tidak terlibat karena keputusan yang berbenturan kepentingan itu.

Selain itu, dari delapan hakim yang terlibat, ada dua pendatang baru, yakni Ridwan Mansyur dari Mahkamah Agung (MA) menggantikan Manahan Sitompul, dan   Arsul Sani dari DPR menggantikan Wahiduddin Adams.

“Jadi ada sedikit konfigurasi dalam pengaruh terhadap hakimlah, ya,” ujar Titi.

Dia mengatakan keputusan bahwa jadwal pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tetap akan dilaksanakan pada November dan tidak diubah, juga menunjukan adanya perubahan dari sisi MK yang lebih ke arah progresif. Begitu pula dengan keputusan yang menentukan bahwa Jaksa Agung tidak boleh pengurus partai.

“Satu sisi promising, ya. Penggantian klasemen hakim yang kedua itu ada tendensi Mahkamah Konstitusi ingin rebranding,” kata Titi.

5. Titi menanggapi permohonan paslon 01 dan 03 di MK

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi. (IDN Times/Santi Dewi)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi. (IDN Times/Santi Dewi)

Titi juga menanggapi soal permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres 2024 yang telah diajukan tim paslon nomor urut satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan tim paslon nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Menurut Titi, permohonan yang disampaikan kedua kubu tersebut bagus. Dia menjelaskan tim paslon 01 dan 03 mendalilkan dari yang paling fundamental, bahwa angka atau hasil pemilu itu adalah produk dari sebuah proses.

“Dia harus dihasilkan dari proses yang menghormati rakyat, prinsip pemilu yang luber dan jurdil, perlakuan yang setara dan adil. Jadi even playing field,” kata dia.

6. Kredibilitas KPU dianggap lemah

Sidang PHPU, keterangan dari pihak KPU (IDN Times/Aryodamar)
Sidang PHPU, keterangan dari pihak KPU (IDN Times/Aryodamar)

Titi menyebut pengajuan tim paslon 01 juga menyinggung soal kredibilitas KPU.

“Mislanya ketika (paslon) nomor 01 mengatakan, KPU itu dari mulai seleksi instansi pemerintah itu sudah besar dengan menempatkan timses sampai empat orang yang diketuai oleh tim kemenangan Jokowi, ketika maju di Pilpres 2019,” katanya.

Titi menyebut tim paslon 01 ingin menghubungkan dalam pengajuannya bahwa ada desain yang direncanakan, termasuk juga keterlibatan KPU di dalam manipulasi verifikasi partai politik yang meloloskan partai-partai yang sesungguhnya tidak lolos menjadi partai pemilu.

Namun demikian, ada pula hal yang menurut Titi belum diuraikan dalam pengajuan dari tim paslon 01 ini.

“Dia tidak menguraikan apakah partai lolos itu memberikan insentif pada kemenangan atau perolehan suara (ke paslon) nomor dua. Yang belum tergambar adalah itu. Partai yang mana dan insentif itu berupa apa,” ujar dia.

Oleh karena itu, Titi menganjurkan para anak muda, terutama gen z, untuk menyimak proses persidangan sengketa pemilu ini. Sebab, ini akan memberi pembelajaran bermanfaat yang banyak soal hukum tata negara dan demokrasi.

7. Titi sebut ada politisasi bansos pada Pemilu 2024

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Terkait politisasi bantuan sosial (bansos) yang telah menjadi isu panas, Titi menyebut, ini termasuk dalam bentuk manipulasi voters atau pemilih.

“Bahwa pemilik itu tidak lagi (secara) autentik memberikan suara. Tidak lagi genuine, tapi dia bergeser karena adanya penetrasi partisan, dan juga berupa jual beli suara suara disinformasi dan intimidasi,” ungkap Titi.

Titi pun menyampaikan bahwa dia menganjurkan MK untuk menghadirkan Menteri Sosial (Mensos) untuk memperlihatkan bagaimana konfigurasi bansos sebenarnya.

8. Titi pergi ke Kuala Lumpur untuk melihat pelaksanaan pemilu di luar negeri

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Sebagai pegiat pemilu di Indonesia, Titi juga memiliki ketertarikan untuk mengamati pelaksanaan Pemilu 2024 di luar negeri. Karena itu, dia sempat mengunjungi Kuala Lumpur, Malaysia, pada 11 Februari 2024. Kunjungan ini adalah pertama kalinya, dia melihat proses pemilu Indonesia di luar negeri.

Alasannya dia memilih Kuala Lumpur adalah karena dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di luar negeri yang mencapai 1,7 juta, pemilih yang terdaftar di Kuala Lumpur sendiri mencapai 447 ribu. Dia menyebut angka ini dapat berkontribusi ke perolehan kursi bagi caleg secara masif.

Dia menceritakan, hal yang ia alami saat menyaksikan proses pemilu di Negeri Jiran itu adalah keharuan.

“Saya ketemu dengan anaknya. Dia sudah tujuh tahun di Malaysia. Terus dia sempat terpukul karena namanya tidak ada di DPT. Terus saya tanya kenapa ibu mau milih? Dia bilang ke saya, ‘saya merasa sebagai orang Indonesia dengan ini. Saya merasa saya dianggap diakui oleh negara’,” ungkap Titi.

Jadi, Titi menegaskan, makna pemilu begitu besar bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Sebab, ini menjadi bentuk rekognisi negara terhadap keberadaan mereka, termasuk yang bekerja sebagai pekerja migran.

9. Dugaan manipulasi DPT pemilu Indonesia di Malaysia

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Namun di balik keharuan itu, Titi juga mengaku prihatin adanya manipulasi DPT pada pemilu Indonesia di Malaysia. Dia menjelaskan, di DPT seharusnya di-coklit (diperbaiki dan dikonfirmasi daftar pemilihnya). Namun, dari 400 ribu sekian DPT yang ada di Malaysia, ternyata sekitar 64 ribu sudah di-coklit sepenuhnya.

“Sisanya gimana? Sisanya mengandalkan data masa lalu,” ujarnya.

Titi menyebut, awalnya, daftar pemilih melalui kotak suara keliling itu hanya sekitar 7 ribu pemilih. Namun, ada wakil dari partai yang meminta ditambahkan. Permintaan ini awalnya ditolak oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), namun setelah beberapa perundingan, akhirnya disepakati akan ditambah 50 ribu pemilih untuk kotak suara keliling, yang tadinya hanya 7 ribu pemilih, menjadi 57 ribu pemilih.

“Poinnya bukan ditambah menambah itu, tapi adalah yang mereka tambah sekian ribu itu manusia. Ada alamatnya, ada identitasnya, kok bisa-bisanya mereka menambah tanpa dicek orangnya ada di mana?” kata Titi.

Hal tersebutlah yang menyebabkan proses pemilu Indonesia di Malaysia menjadi berantakan. Titi pun menyimpulkan, ini menunjukkan ketidakseriusanpihak Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu di luar negeri.

10. Melihat karakteristik pemilih Indonesia di luar negeri

Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)
Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Menurut Titi, jika bicara tentang pemilu Indonesia di luar negeri, melihat karakteristik negara dan di mana pemilih Indonesia paling banyak tersebar, bisa menjadi hal yang menarik.

Contohnya, sebagian besar pemilih Indonesia di luar negeri tersebar di Taipei, Kuala Lumpur, Johor Baru, Hong Kong, dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Lalu, jika ingin dikaji lebih mendalam, bisa diteliti sejauh mana mereka dapat mengakses bansos, serta keterhubungan mereka kepada keluarga mereka yang juga penerima bansos.

“Amerika Latin itu dimenangkan oleh paslon 03. Nampaknya, kita bisa bilang minim sekali PMI di sana. Dan memang iya. Jadi saya jumpai banyak pemilih yang datang di Kuala Lumpur itu pada interval 6 sampai 1 bulan sebelum hari pemilu. Dan jangan lupa ya relasi ke dalam negeri itu kan relasi keluarga gitu,” katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amara Zahra
Rochmanudin Wijaya
Amara Zahra
EditorAmara Zahra
Follow Us