Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu Mengubah Ciptaan Allah SWT

Ilustrasi gedung majelis ulama indonesia MUI (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Jakarta, IDN Times - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak (pedofilia), seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

“Dalam perspektif hukum Islam, pengebirian terhadap manusia itu dilarang karena mayoritas ulama sepakat bahwa itu masuk dalam kategori mengubah ciptaan Allah,” kata Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi saat dihubungi IDN Times, Rabu (6/1/2021).

1. MUI minta pedofilia dihukum sesuai pasal perzinaan, bukan kebiri kimia

Ilustrasi korban kekerasan (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut Muhyiddin, banyak argumentasi teologis yang memperkuat larangan kebiri kimia, yang kemudian didukung oleh para ulama dan pakar di berbagai disiplin ilmu. 

Seharusnya, lanjut dia, hukuman bagi pedofilia bisa dikenakan pasal yang berkaitan dengan perzinaan atau fatwa MUI tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), bukan pengebirian.

“Pemerintah diminta untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan penegakan hukum yang berat agar ada efek jera,” ujar lulusan Bahasa Arab dan studi Islam dari Universitas Islam Libya itu.

2. MUI menilai hukuman kebiri tidak menyelesaikan masalah

Ilustrasi gedung majelis ulama indonesia MUI (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Menurut Muhyiddin, sebagian besar pelaku pedofilia biasanya mengalami gangguan kejiwaan yang membutuhkan terapi khusus. Hukuman kebiri bagi pedofilia dinilainya tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual terhadap anak.

“Karena para pelaku masih punya kesempatan melakukan perilaku amoralnya. Tak sedikit para pakar mengkhawatirkan dampak negatif dari pengebirian dalam jangka panjang,” tuturnya.

3. MUI sesalkan pemerintah tidak berkonsultasi sebelum membuat aturan kebiri kimia bagi pedofilia

Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi (ANTARA/Muhammad Zulfikar)

Lebih jauh, Muhyiddin menjelaskan, Islam juga melarang adanya hukum kebiri sebagai solusi alternatif bagi pelaku pedofilia. Dia mencontohkan, Nabi Muhammad SAW pernah menolak permintaan kebiri dari sahabatnya sebelum meninggalkan keluarga karena melakukan peperangan.

Muhyiddin juga menyesalkan keputusan pemerintah terkait hukuman kebiri. Harusnya pemerintah berkonsultasi terlebih dahulu dengan MUI agar kebijakan yang dibuat tidak menyalahi ajaran Islam. 

“Setiap larangan dan perintah dalam agama pasti mengandung hikmah yang mulia, di mana akal manusia terkadang belum bisa memahaminya,” tutur dia.

4. Jokowi teken PP soal hukuman kebiri kimia bagi pedofilia pada 7 Desember 2020

Presiden Joko "Jokowi" Widodo (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menekan PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 7 Desember 2020.

Peraturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak.

"Bahwa untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,” demikian bunyi PP No 70 Tahun 2020 seperti dikutip IDN Times, Minggu, 3 Januari 2021.

Hukuman kebiri kimia dilakukan paling lama dua tahun. Tindakan kebiri kimia dilakukan melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan. Sementara, dalam peraturan tersebut juga dikatakan bahwa tindakan kebiri kimia ditempuh melalui tiga tahapan yaitu penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Fitang Budhi Adhitia
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us