Tolak Konvensi ILO, Koalisi Ojol-DPR: Driver Ojek Online Bukan Buruh

- KON menolak politisasi isu ojol dan pemotongan 10 persen tanpa kajian komprehensif
- Penerapan Konvensi ILO dinilai bisa memicu gejolak ekonomi
Jakarta, IDN Times - Koalisi Ojol Nasional (KON) menolak intervensi lembaga internasional terhadap sistem kemitraan ojek online (ojol) di Indonesia. Penolakan ini disampaikan sebagai respons pemerintah Indonesia dalam forum International Labour Organization (ILO), di mana Indonesia mendukung terhadap konvensi tersebut.
Ketua Umum KON, Andi Kristiyanto menegaskan, ojol bukanlah pekerja dan bukan buruh. Hasil konvensi itu dinilainya sangat bertentangan dengan realitas kemitraan ojol yang berlaku di Indonesia.
“ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol bukan pekerja dan bukan buruh. Kami tolak intervensi ILO,” kata Andi kepada wartawan, Rabu (11/6/2025).
1. DPR tegaskan ojol bukan buruh

Andi menilai, ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mengarahkan opini publik agar ojol Indonesia dianggap sebagai pekerja tetap. Ia pun meminta pemerintah dan DPR tak terpengaruh dengan narasi tersebut.
Selain itu, KON juga menolak adanya politisasi isu ojol, keberatan terhadap pemotongan 10 persen tanpa adanya kajian yang komprehensif, menolak pengakuan ojol sebagai pekerja tetap.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Gerindra, Obon Tabroni juga menegaskan, ojol bukan pekerja, melainkan mitra platform.
“Awalnya saya ragu, tapi setelah mendengarkan masukan dari Koalisi Ojol, saya sadar bahwa benar mereka bukan buruh yang kini tergabung dalam tim revisi UU Ketenagakerjaan,” kata dia.
2. Sebanyak 90 persen ojol terancam kehilangan pekerjaan

Diberitakan sebelumnya, rencana penerapan Konvensi ILO untuk mereklasifikasi mitra ojol menjadi pekerja tetap dinilai bisa memicu gejolak ekonomi.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha menyebut, dampak penetapan ojol sebagai pekerja tetap bisa merembet ke UMKM, layanan publik, hingga meningkatnya angka pengangguran.
Jika reklasifikasi dipaksakan hanya 10–30 persen mitra pengemudi yang bisa terserap sebagai karyawan. Sisanya, 70–90 persen diprediksi akan kehilangan pekerjaan.
“Pemaksaan kebijakan ini dapat menyebabkan efek domino berupa menurunnya pendapatan jutaan UMKM, meningkatnya pengangguran, dan hilangnya kepercayaan investor,” kata Agung.
3. Kemitraan ojol diganti, ekonomi bisa merugi

Industri pengantaran dan mobilitas digital disebut menyumbang hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Menurut dia, bila sistem kemitraan diganti total, kontribusi ini terancam menurun drastis, dengan potensi kerugian mencapai Rp178 triliun.
Agung lantas menjabarkan beberapa temuan dampak serupa yang juga terjadi di negara lain. Setelah reklasifikasi, Uber memutus kemitraan dan Deliveroo hengkang dari pasar di Spanyol. Lalu, harga layanan naik dan volume pemesanan menurun drastis di Inggris dan Amerika Serikat (AS).
“Penurunan pendapatan UMKM, gangguan layanan logistik, dan risiko krisis sosial menjadi kekhawatiran utama,” kata dia.