UN Women: Tiap 10 Menit Satu Perempuan Dibunuh, Termasuk Usia Anak

- Kasus pembunuhan perempuan meningkat, termasuk kasus mutilasi di Ngawi oleh Tri Hartanto.
- Setiap 10 menit, 1 perempuan atau anak perempuan tewas oleh pasangan atau keluarga mereka.
- Global terdapat 85.000 kasus pembunuhan sengaja pada 2023, 60% dilakukan oleh pasangan intim atau anggota keluarga.
Jakarta, IDN Times - Kasus perempuan yang ditemukan di dalam koper merah menambah deretan panjang pembunuhan pada perempuan. Korban UK (29) ditemukan tewas dalam keadaan termutilasi usai dibunuh oleh Tri Hartanto (30). Kasus ini terjadi di Ngawi, Jawa Timur.
United Nations (UN) Women memaparkan, berdasarkan data 140 perempuan dan anak perempuan meninggal setiap hari di tangan pasangan mereka atau kerabat dekat, yang berarti satu perempuan atau anak perempuan terbunuh setiap 10 menit.
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan bukanlah hal yang tak terelakkan, tetapi dapat dicegah. Kita memerlukan undang-undang yang kuat, pengumpulan data yang lebih baik, akuntabilitas pemerintah yang lebih besar, budaya tanpa toleransi, dan peningkatan pendanaan untuk organisasi hak-hak perempuan dan badan-badan kelembagaan," kata Direktur Eksekutif UN Women, Sima Bahous, dikutip Kamis (30/1/2025).
1. Ada 85.000 perempuan-anak perempuan dibunuh dengan sengaja pada 2023

Selain itu, secara global ada 85.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh dengan sengaja pada 2023. Sebanyak 60 persen dari pembunuhan ini 51.100 di antaranya dilakukan oleh pasangan intim atau anggota keluarga.
Data tersebut dirangkum UN Women di laporan Femicides in 2023: Global Estimates of Intimate Partner/Family Member Femicides.
2. Di Eropa-Amerika perempuan yang terbunuh adalah pasangan intim dan keluarga

Pada 2023, Afrika bahkan mencatat angka tertinggi adalah perempuan dan anak perempuan yang dibunuh oleh pasangan intim dan keluarga. Kemudian ada Amerika lalu Oseania.
UN Women menjelaskan, di Eropa dan Amerika, perempuan yang terbunuh ada di darah domestik. Mereka adalah korban pasangan intim dan ada juga yang ternyata anggota keluarga pelaku utama pembunuhan.
3. Upaya hapus bias gender hingga norma berbahaya

Laporan femisida ini menyoroti kebutuhan mendesak akan sistem peradilan pidana yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, sekaligus memastikan dukungan yang memadai bagi penyintas, termasuk akses ke mekanisme pelaporan yang aman dan transparan.
"Pada saat yang sama, kita harus menghadapi dan menghapus bias gender, ketidakseimbangan kekuasaan, dan norma-norma berbahaya yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan," kata Direktur Eksekutif United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Ghada Waly.