Wacana New Normal, PKS: Cermin Penanganan Virus Corona Tidak Jelas

Jakarta, IDN Times - Wacana pemerintah menerapkan new normal atau menuju tatanan kehidupan baru agar bisa beraktivitas kembali, sambil tetap menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah virus corona atau COVID-19, menuai kritik dari banyak pihak. Langkah ini dianggap berpotensi terjadinya gelombang kedua pandemik virus corona.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menganggap wacana new normal dan hidup berdampingan dengan COVID-19 adalah penangan virus corona yang tidak jelas. Sebab, menurut dia, wacana tersebut bisa berdampak luas di berbagai wilayah mengingat kasus virus corona masih terus bertambah 400-500 kasus per harinya.
“Cermin ketidak-jelasan langkah penanganan corona,” kata Mardani saat dihubungi, Senin (18/5).
1. New normal akan merepotkan Pemda dalam menangani COVID-19 yang menyebar ke daerah

Mardani mengimbau pemerintah pusat tidak membuat keputusan yang blunder, setelah merelaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebab, ini akan berdampak pada kemampuan penanganan COVID-19 di daerah.
“Pemimpin yang baik tahu kondisi masyarakatnya. Indonesia punya kekhasan luas geografi dan beragam suku bangsa. Ada jeda antara diskursus di pusat hingga daerah. Baik dari sisi waktu dan muatan,” ujar Anggota Komisi ll ini.
“Melontarkan wacana new normal di tengah masyarakat dan pemda sedang berjuang melawan COVID-19 membingungkan. Sama bingungnya dengan ketidakjelasan larangan mudik dengan izin bepergian pakai pesawat terbang. Hentikan usaha merepotkan dan memberatkan pemda dan masyarakat,” sambung Mardani.
2. Demokrat usul Presiden kumpulkan data utuh sebelum mewacanakan new normal

Senada dengan Mardani, Ketua DPP Demokrat Didik Mukrianto mengimbau agar Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengumpulkan data kajian terlebih dulu, agar keputusannya tepat dan tidak lagi membuat bingung masyarakat.
“Sebaiknya presiden mengumpulkan data dan informasi yang utuh dan bisa dipertanggungjawabkan sebelum membuat pernyataan. Harus terukur dan objektif,” kata dia.
Didik juga mengingatkan kepada presiden tentang kondisi tenaga medis, jika kembali meningkat angka korban COVID-19. Termasuk pelonggaran PSBB yang telah terbukti mampu menekan angka kasus COVID-19.
“Bisa bayangkan psikologis dokter dan tenaga medis yang mengambil risiko besar untuk nyawanya yang tidak kenal lelah mengobati orang terpapar. Kalau sampai mereka give up atau kewalahan apa yang akan terjadi,” ujar dia.
Terlebih, kata Didik, sampai sekarang belum ditemukan vaksin virus corona. Namun, ia sepakat dengan wacana tersebut jika vaksin telah ditemukan.
“Saat ini vaksinnya belum bisa ditemukan, namun metodologi penanganannya berangsur-angsur untuk negara tertentu sudah bisa dikendalikan, sebaiknya presiden belajar kunci sukses negara-negara lain,” kata dia.
3. Demokrat mengimbau pemerintah agar tidak mengorbankan nyawa untuk new normal

Sejauh ini, beberapa negara di Benua Eropa yang dihantam COVID-19 mulai berani melonggarkan lockdown-nya. Misalnya Italia, Jerman, Spanyol, Prancis, dan negara-negara di Kawasan Skandinavia.
Untuk mencontoh negara tersebut, Didik mengusulkan jika Presiden melakukan pelonggaran PSBB dan mewacanakan ‘new normal’ harus disertai dengan pengawasan yang ketat. Terlebih, Pemerintah telah diberi leluasa menggunakan anggaran lewat Perppu 1 Tahun 2020 yang sudah menjadi Undang-Undang Penanganan COVID-19.
“Setelah pengendalian dilakukan, dan grafik penularan menurun dan hilang, bijak kalau kemudian Presiden bicara untuk memulai tatanan baru. Tatanan baru itu bukan berdampingan dengan bahaya, bukan menjudikan nyawa dengan virus COVID-19 yang sangat berbahaya,” ujarnya.
“Tatanan baru itu yang tepat adalah penyesuain kehidupan sebagai dampak corona yang telah mempengaruhi sendi-sendi ekonomi dan kehidupan termasuk kehidupan sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan, dan itu dilakukan setelah COVID-19 dinilai bisa dikendalikan,” imbuh Didik.
4. Jokowi bicara soal hidup berdampingan dengan COVID-19

Sementara, Presiden Jokowi sebelumnya mengatakan pemerintah saat ini belum memutuskan untuk melonggarkan PSBB. Tetapi pemerintah tetap melakukan pemantauan melalui data dan fakta di lapangan.
Jokowi juga mengingatkan masalah PSBB harus diputuskan dengan hati-hati, dan harus melihat kondisi masyarakat saat ini.
“Kita juga harus melihat kondisi masyarakat sekarang ini. Kondisi yang terkena PHK dan kondisi masyarakat yang menjadi tidak berpenghasilan lagi. Ini harus dilihat," ujar Jokowi dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (15/4).
Pemerintah belum tahu kapan pandemik COVID-19 akan berakhir di Indonesia. Jokowi mengatakan, masyarakat bisa beraktivitas kembali namun tetap harus mengikuti protokol kesehatan. Masyarakat bisa hidup berdampingan dengan COVID-19.
"Informasi terakhir dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang saya terima bahwa meski pun kurvanya sudah agak melandai atau nanti menjadi kurang, tapi virus ini tidak akan hilang. Artinya kita harus berdampingan hidup dengan COVID-19. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan COVID-19. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman," kata Jokowi.
5. Hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti pesimistis

Jokowi menegaskan, hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti menyerah dan menjadi pesimistis. Menurut dia, justru di situlah menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat untuk dapat beraktivitas kembali, sambil tetap melawan ancaman COVID-19 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
"Berdampingan itu justru kita tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan virus COVID-19 tersebut dengan mengedepankan, dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat yang harus kita laksanakan,” ucap Jokowi.
“Pemerintah akan mengatur agar kehidupan kita berangsur-angsur dapat kembali berjalan normal, sambil melihat dan memperhatikan fakta-fakta yang terjadi di lapangan," Jokowi menambahkan.